Pertarungan terakhir dimulai beberapa bulan kemudian, hari ini, tepat pukul dua dini hari, diiringi oleh hujan deras yang menghantam jendela kamar kosku seperti ribuan jari yang mengetuk tak sabar. Tidak ada teriakan. Hanya sensasi basah yang hangat, dan tanda baca yang tak terbantahkan. Sebuah titik. Akhir dari babak kehidupan yang bernama “menunggu”. Saat air ketubanku pecah, rasanya semua kesunyian dan rasa sakit yang kupendam selama berbulan-bulan ikut tumpah ke lantai yang dingin.
Panik adalah reaksi pertama, memicu letupan singkat di sirkuit otakku. Tapi di bawahnya, ada sesuatu yang lain. Ketenangan lama yang aneh, seolah tubuhku, yang selama ini menjadi objek diskusi dan TKP, kini mengambil alih kendali dan berkata, “Tenang. Aku tahu caranya.” Orang pertama yang kuhubungi bukan dokter atau ambulans. Orang pertama yang kuhubungi adalah Alya.
Dia tiba sepuluh menit kemudian, basah kuyup, serupa badai kecil dari kesetiaan yang cemas. Matanya lebih panik dariku.
“Oke, oke, kita ke klinik sekarang,” katanya, mencoba terdengar tenang tapi gagal total. Dialah yang membantuku berjalan menuruni tangga, membawaku ke klinik bersalin kecil di ujung jalan yang direkomendasikan Farida—zona aman dari penghakiman, tempat yang tidak akan menanyaiku tentang status pernikahan.
Proses persalinan adalah perjalanan ke pusat rasa sakit, menjadi dialog yang brutal dengan tubuhku sendiri. Setiap kontraksi merupakan gelombang pasang yang menarikku ke bawah, ke dalam kegelapan. Dalam setiap puncak rasa sakit itu, fragmen-fragmen dari beberapa bulan terakhir muncul di benakku: seringai Reksa, wajah Daka yang lumpuh, komentar-komentar keji di Twitter, keheningan ibuku. Rasanya seolah aku sedang melakukan eksorsisme, mengeluarkan setiap racun itu dari tubuhku melalui setiap erangan. Tidak ada teori kritis atau analisis wacana yang bisa mempersiapkanku untuk kebenaran biologis yang fundamental ini.
Dan di sampingku, Alya adalah jangkarku di tengah badai. Dia tidak pernah melepaskan tanganku. Genggamannya adalah satu-satunya koneksiku pada dunia nyata. Dia menyeka keringat di dahiku, membisikkan kata-kata penyemangat yang tidak masuk akal tapi entah kenapa sangat kubutuhkan. “Ayo, Ran, lo lebih kuat dari ini,” katanya berulang kali, air matanya sendiri mengalir di pipinya. Dia bukan bidan, bukan pahlawan. Dia adalah sahabatku, yang pernah mengkhianatiku karena takut, dan malam itu, dia menebus semuanya dengan keberanian yang sunyi dan tak tergoyahkan.