Ada leksikon baru yang harus kupelajari setelah Sakti lahir, dan leksikon ini tidak ada dalam silabus Teori Kritis mana pun. Kata-kata abstrak seperti ‘hegemoni’ dan ‘patriarki’ yang dulu terasa begitu penting, kini digantikan oleh kata-kata konkret yang menuntut perhatian segera: ‘kolostrum’, ‘bedong’, ‘gumoh’. Alam semesta-ku yang dulu berputar mengelilingi deadline tugas dan teori-teori besar, kini beroperasi pada siklus tiga jam yang primal dan tak bisa ditawar: menyusui, mengganti popok, menidurkan, lalu ulangi. Reduksi alam semesta yang ternyata membahagiakan.
Dunia di luar sana mungkin masih berperang atas namaku. Mungkin ada thread Twitter baru, atau podcast yang tetap menganalisis pidatoku seolah itu adalah Naskah Laut Mati. Aku tidak tahu. Aku tidak peduli. Ponselku lebih sering dalam mode pesawat, layarnya gelap. Notifikasi paling penting dalam hidupku sekarang adalah isak tangis pelan dari boks bayi di sebelah tempat tidurku, alarm biologis yang mengalahkan semua urgensi digital.
Dini hari itu, sekitar pukul tiga, saat kota sedang sunyi-sunyinya dan hanya para pembuat dosa dan ibu baru yang terjaga, aku duduk di kursi, menyusui Sakti. Cahaya remang dari lampu jalanan masuk lewat jendela, membelah ruangan. Aku menatap wajahnya yang mungil, matanya terpejam, mulutnya bekerja dengan keseriusan seorang profesional. Dan aku memikirkan tentang geografi tubuhku.
Ini adalah teritori yang sama. Tanah yang pernah diinvasi, dianalisis, dan dipetakan oleh orang asing. Mereka telah mempretelinya, memberinya label, mengubahnya menjadi bahan diskusi. Tapi sekarang, teritori yang sama ini, yang telah direbut kembali, sedang melakukan keajaiban paling alami di dunia. Ia menjadi sumber kehidupan. Ia adalah makanan, kenyamanan, dan seluruh dunia bagi manusia kecil ini.
Paradoks kosmik itu begitu dalam, begitu luar biasa, hingga aku hanya bisa tersenyum dalam kegelapan. Kalian bisa mengambil 32 detik dari tubuhku, pikirku dalam monolog sunyi yang kutujukan pada hantu-hantu di masa lalu. Tapi kalian tidak akan pernah bisa mengambil momen ini. Ini milikku.
Alya datang keesokan paginya, membawakan sekantong bubur ayam dan setumpuk gosip kampus yang tidak kuminta.