Ada kebohongan manis yang sering kita ceritakan pada diri sendiri: bahwa waktu menyembuhkan semua luka. Itu tidak benar. Waktu tidak menyembuhkan apa pun. Ia hanya seorang birokrat yang terus berjalan, dan kau, dengan tertatih-tatih, belajar untuk mengisi formulir-formulirnya, beradaptasi dengan prosedurnya. Luka itu tetap ada. Ia menjadi bagian permanen dari geografi dirimu, seperti kawah meteorit yang mengubah lanskap selamanya. Kau tidak sembuh. Kau hanya belajar cara menavigasi topografi barumu agar tidak terus-menerus tersandung di lubang yang sama.
Beberapa bulan telah berlalu sejak kelahiran Sakti. Musim hujan telah menyerah pada musim panas yang kering, dan dunia di luar kamarku terus berputar.
Suatu sore, aku membawa Sakti ke taman kota. Taman yang sama di mana aku pernah duduk sendirian, merasa seperti spesimen di bawah mikroskop raksasa. Dulu, setiap sudut taman ini terasa seperti TKP. Sekarang, dengan Sakti yang baru saja menemukan kemampuan untuk tertawa—suara murni tanpa subteks, anomali di duniaku—tempat ini terasa berbeda. Ia hanya taman. Tempat di mana anak-anak mengejar gelembung sabun dan para orang tua menegosiasikan gencatan senjata dengan kelelahan mereka.
Seorang perempuan muda yang duduk di bangku sebelah menatapku. Aku sudah terbiasa dengan tatapan itu dan bersiap untuk mengaktifkan perisai ketidakpedulianku. Tapi kemudian dia tersenyum.
“Kak Kirana, kan?” tanyanya pelan. “Podcast Kakak… episode yang tentang memaafkan diri sendiri… itu menyelamatkan saya. Sungguh. Terima kasih.”
Dia tidak meminta foto. Dia tidak bertanya tentang detail skandal itu. Dia hanya mengucapkan terima kasih, lalu kembali membaca bukunya, memberiku kemewahan untuk tidak perlu merespons lebih jauh.
Aku terdiam, sementara tawa Sakti meledak di sampingku. Ternyata suaraku, yang kukirim ke dalam kehampaan dari stasiun pemancar darurat di kamarku yang sempit, mendarat di suatu tempat. Ternyata kata-kataku menjadi rakit penyelamat bagi orang lain yang juga terdampar. Perasaan itu… lebih baik, lebih nyata daripada standing ovation mana pun.
Malamnya, setelah Sakti tertidur, aku duduk di depan mejaku. Mikrofon murah yang kubeli dengan sisa uang tabungan berdiri di sana, disangga oleh tumpukan buku teori media yang kini terasa seperti remah-remah dari kehidupan lain. Inilah studio “32 Detik Bicara”.