Satu minggu berlalu setelah aku mengirim email pada Wira Adiwangsa. Lalu dua. Aku sudah melakukan pengarsipan mental atas tindakan itu, memasukkannya ke dalam folder berjudul “Eksperimen yang Dilakukan untuk Kepentingan Proses, Bukan Hasil.” Aku kembali pada ritme kehidupanku yang baru: popok, podcast, dan puisi-puisi buruk yang kutulis di aplikasi Notes pada pukul tiga pagi saat menyusui Sakti.
Lalu, pada suatu hari Sabtu yang terik dan membosankan, saat aku sedang berkunjung ke rumah ibuku untuk mengambil beberapa pakaian bayi yang beliau belikan, ibuku menyodorkan sebuah amplop.
“Ini datang kemarin,” katanya, tanpa ekspresi. Tapi tangannya yang meletakkan amplop itu di meja sedikit gemetar, seakan anomali seismik kecil dalam ketenangannya yang biasanya sempurna.
Amplop itu berwarna putih gading yang sudah agak kusam. Alamat ibuku tertulis dengan rapi, dan namaku—Kirana Azzahra—ditulis dengan tulisan tangan yang miring dan maskulin, menggunakan tinta hitam yang sedikit luntur oleh kelembapan. Tidak ada nama pengirim. Tapi aku tahu. Hantu tidak perlu menuliskan alamat balasan.
Aku tidak membukanya di sana. Aku memasukkannya ke dalam tas dengan hati-hati, seolah benda itu adalah relik suci atau bom waktu yang belum dirakit. Aku mengucapkan terima kasih pada ibuku, mengambil barang-barang Sakti, dan segera pulang.
Di kamar kosku, dengan Sakti yang tertidur di boksnya, napasnya yang teratur menjadi satu-satunya suara di dunia, aku duduk di lantai dan melakukan forensik amatir pada amplop itu selama sepuluh menit. Aku adalah seorang sejarawan yang baru saja menemukan satu-satunya sumber primer dari peradaban yang hilang—peradaban kehidupanku sendiri. Aku mempelajari setiap detail: prangko yang dicap di kantor pos kota lain, cara huruf ‘K’ pada namaku ditulis dengan sedikit tekanan berlebih, tekstur kertasnya yang terasa tebal dan mahal.
Dengan napas tertahan, aku merobek amplop itu dengan hati-hati. Di dalamnya ada selembar kertas, dilipat menjadi tiga. Tulisan tangannya sama.