32 DETIK

IGN Indra
Chapter #26

EPILOG: PAGI YANG BIASA (KARENA ITU, LUAR BIASA)

Ada kemewahan yang tidak pernah diajarkan di kelas filsafat mana pun, kemewahan yang baru kau sadari nilainya setelah kau hampir kehilangan segalanya: kemewahan sejati dari pagi yang membosankan.

Pagi ini salah satunya. Aku bangun bukan karena mimpi buruk atau getaran notifikasi panik. Aku bangun karena Sakti, yang kini sudah berusia dua tahun dan menganggap hukum gravitasi sebagai saran, bukan aturan, sedang mencoba menaklukkan sofa seperti seorang pendaki Everest yang kekurangan oksigen. Dia menoleh padaku, tertawa—pemicu ledakan kebahagiaan murni—lalu menjatuhkan dirinya dengan aman ke tumpukan bantal yang sengaja kutaruh di sana.

Aku membuat kopi. Sambil menunggu air mendidih, aku melirik ponsel di atas meja. 

Kebiasaan lama, tapi dengan tujuan berbeda. Bukan lagi refleks patologis untuk melihat siapa yang membenciku hari ini, melainkan sekadar menyapu berita pagi. 

Sebuah judul berita melintas: 

Mahasiswi Alami Perundungan Daring Massal Usai Video Pribadinya Viral.

Sesaat. Hanya sesaat, sendok di tanganku bergetar sedikit. Ada sengatan dingin yang akrab merayap di tulang punggungku, gema dari ruangan kelas yang tiba-tiba terasa vakum. Napasku tercekat sepersekian detik. Lalu, aku menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, dan menghembuskannya perlahan. 

Gema itu surut. Ia bukan lagi badai, hanya riak air di kejauhan. Aku meletakkan ponsel dengan layar menghadap ke bawah. Perang di luar sana bukan lagi urusanku pagi ini. Aku punya pertempuran yang lebih mendesak: negosiasi alot tentang apakah brokoli bisa dianggap sebagai mainan atau makanan. (Spoiler: menurut Sakti, selalu mainan).

Lihat selengkapnya