Alasan ke-1: Gue suka cara lo natap gue. Gue kayak kecoa terbang yang pantes dimusnahin.
Otak teman-temanku ini kadang-kadang isinya cuma tiga: gitar, gorengan, dan ide-ide bodoh. Hari ini, mereka sedang pakai yang ketiga, dan seperti biasa, aku korbannya.
Kami sedang duduk di tempat biasa. Warung belakang sekolah yang udaranya berbau kopi instan dan penyesalan karena tidak mengerjakan PR.
Saat ini aku sedang bengong, menatap ibu warung yang mengulek sambal. Gerakannya ritmis. Tangannya naik turun dengan tempo yang sama. Aku mengeluarkan ponsel, bukan untuk main game, tapi membuka aplikasi catatan sambil mengetik Ibu warung. Tangan mengulek sambal. Seperti sedang menghukum kenangan.
"Woi, Rel! Bengong lagi!" Ojan menepuk bahuku, membuat ponselku hampir jatuh. "Ngetik apaan sih lo? Serius amat."
Aku langsung mengunci layar. "Ngetik pesanan buat malaikat. Minta nyawa tambahan, kayaknya bakal butuh," jawabku asal.
Ojan, biang keladinya, baru saja mengeluarkan kartu remi yang sudah lecek. Kartu itu sudah melihat lebih banyak kekalahan daripada tim sepak bola sekolah kami.
"Gue punya permainan baru," kata Ojan sambil mengocok kartunya. Senyumnya lebar. Itu pertanda buruk.
"Kalau permainannya butuh mikir, gue nggak ikut," kataku sambil menyeruput es teh. Tenagaku terbatas, jadi harus dipakai untuk hal-hal penting. Seperti bernapas.
"Gampang ini. Yang kalah, hukumannya jalanin 'Misi 32'," jelas Ojan.
Aku tidak bertanya apa itu 'Misi 32'. Aku sudah tahu itu akan jadi sesuatu yang merepotkan.