32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #4

BENTENG YANG BERNAMA KAYLA

Aku punya teori. Waktu di sekolah itu jalannya tidak normal. Dia melambat drastis saat pelajaran Sejarah dan melesat secepat cahaya saat istirahat. Sekarang, jarum jam di dinding kelas kami sepertinya sedang mogok kerja. Dia merayap, bukan berjalan. Mungkin dia lelah, sama sepertiku.

Pelajaran Sejarah dengan Pak Tirtayasa adalah medium terbaik untuk menguji kesabaran umat manusia. Suaranya monoton, seperti radio rusak yang hanya bisa menangkap satu frekuensi, yakni frekuensi dongeng pengantar tidur. Di luar jendela, matahari sedang di puncak kejahatannya, memanggang aspal lapangan basket sampai menguap. Kombinasi yang sempurna untuk membuat otakku beralih ke mode hemat daya.

Sebelum Pak Tirtayasa yang terhormat itu masuk, Bu Marni sempat mampir sebentar. Guru Bahasa Indonesia favoritku. Bukan karena cara mengajarnya, tapi karena beliau satu-satunya guru yang sepertinya sudah berdamai dengan takdir bahwa murid seperti aku memang ada. Beliau datang untuk mengembalikan tugas mengarang minggu lalu. Beliau berhenti tepat di mejaku. Seluruh kelas yang tadinya berisik seperti pasar pindahan, mendadak hening. Mungkin mereka pikir aku akan menerima surat panggilan orang tua lagi.

"Farel," katanya. Suaranya tenang. "Ini tugasmu."

Beliau meletakkan selembar kertas di mejaku. Ada nilai B+ yang ditulis dengan tinta merah di pojok atas. Lumayan. Biasanya, hubunganku dengan nilai B itu seperti hubunganku dengan bangun pagi. Nyaris tidak pernah terjadi.

"Gaya tulisanmu selalu menarik, Farel. Penuh perumpamaan yang tidak terduga." Beliau berhenti sejenak, menatapku. Aku hanya diam. Aku tahu ada kata ‘tapi’ yang akan menyusul. Dalam hidup, pujian itu seperti trailer film. Bagian terbaiknya selalu diikuti dengan cerita yang sebenarnya. "Sayangnya,"—nah, kan—"temanya tentang 'Pahlawan Favoritku', dan kamu menulis tiga halaman tentang kenapa tukang gorengan di kantin yang jadi pahlawan ekonomi mikro. Sedikit melenceng, ya."

Beberapa anak tertawa pelan. Aku hanya mengangkat bahu. Menurutku tidak melenceng. Tukang gorengan itu pahlawan. Dia menyelamatkan perut kami dari kelaparan dan dompet kami dari kekeringan. Itu lebih realistis daripada pahlawan yang hanya ada di buku paket.

Bu Marni tersenyum tipis. Senyum yang membuatku bingung. Bukan senyum mengejek, dan juga senyum marah. Hanya senyum. Lalu, saat beliau akan berbalik, beliau berkata lagi, kali ini suaranya sedikit lebih pelan, hanya cukup untuk kudengar.

"Farel, nanti istirahat pertama, temui Ibu sebentar di ruang guru, ya."

Jantungku yang tadinya santai, langsung mengambil posisi siaga. Ruang guru. Dua kata itu jika digabungkan, artinya bukan kabar baik. Itu adalah markas besar para pemberi tugas, penentu nasib, dan kadang-kadang, algojo nilai rapor. Aku hanya mengangguk. Entah kenapa, aku merasa lebih gugup dipanggil karena tulisan daripada karena bolos.

Dan benar saja. Selama pelajaran Sejarah, aku tidak mendengarkan Pak Tirtayasa menjelaskan tentang Perang Diponegoro. Aku sedang memikirkan perangku sendiri. Perang melawan rasa penasaranku. Kenapa aku dipanggil? Apakah menulis tentang tukang gorengan sekarang dianggap sebagai tindakan subversif? Apakah aku akan dituduh mencoba menggulingkan kurikulum?

Aku melirik target misiku yang lain. Kayla. Dia duduk dua baris di depanku, di sebelah kanan. Punggungnya lurus. Bahkan dari belakang pun, auranya sudah terasa. Aura orang yang tidak punya waktu untuk bercanda. Dia sedang menulis dengan kecepatan stabil, seperti mesin cetak. Aku yakin catatannya lebih rapi daripada tulisan di buku paket. Mungkin dia menggunakan stabilo empat warna dengan kode rahasia yang hanya dia dan PBB yang tahu.

Bel istirahat berbunyi. Aku berjalan ke ruang guru dengan langkah yang berat. Seperti terpidana mati yang berjalan menuju tiang gantungan. Aku mengetuk pintu, lalu masuk. Ruangan itu penuh dengan guru, tapi Bu Marni memberiku isyarat untuk duduk di kursinya yang kosong. Beliau sendiri sedang berdiri di dekat lemari buku.

"Ada apa, Bu?" tanyaku, mencoba terdengar sesantai mungkin.

"Tidak ada apa-apa," jawabnya sambil tersenyum. Beliau mengambil tugas mengarangku dari tumpukan kertas di mejanya. "Ibu hanya mau bicara soal ini."

Beliau menatap kertas itu, lalu menatapku. "Kenapa tukang gorengan?"

Aku bingung. "Maksudnya, Bu?"

"Kenapa kamu memilih dia sebagai pahlawanmu?"

Lihat selengkapnya