32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #7

PERUBAHAN STRATEGI

Alasan ke-5: Lo kelihatan galak, tapi gue lihat lo ngasih pupuk ke tanaman di depan kelas yang hampir mati. Lo peduli sama hal-hal kecil yang orang lain abaikan.

Menjalankan Misi 32 ini ternyata seperti makan makanan pedas. Awalnya kau merasa jagoan, tapi lama-kelamaan perutmu mulai terasa tidak enak. 

Hari kedua, aku menjalankan tugasku sesuai rencana. Aku menyelipkan catatan berisi "Alasan ke-2" yang sudah kusiapkan. Isinya tentang suaranya yang seperti alarm kebakaran. Hasilnya? Sama seperti hari pertama. Kertas itu dibaca sekilas, diremas dengan kekuatan penuh, lalu dilempar ke tempat sampah seolah sampah nuklir yang berbahaya. Tidak ada reaksi berlebihan. Hanya pemusnahan yang dingin dan tangkas.

Hari ketiga, aku mencoba strategi lain. Aku menulis sesuatu yang lebih pendek: "Alasan ke-3: Meja lo lebih rapi dari masa depan gue." Hasilnya? Sama. Dibaca, diremas, dibuang. Dia punya konsistensi yang luar biasa dalam hal menolak keberadaanku. Aku bahkan sedikit kagum.

Hari keempat, aku mulai kehabisan ide. Otakku yang biasanya encer untuk mencari alasan bolos, mendadak beku saat disuruh mencari alasan menyukai Kayla. Aku akhirnya menulis, "Alasan ke-4: Lo kalau jalan cepat banget. Kayak lagi dikejar rentenir." Itu sudah pasti menjadi karya terlemahku. Aku tahu itu. Dan benar saja, kertas itu bahkan tidak diremas. Dia hanya melipatnya, lalu menjatuhkannya ke tempat sampah dengan tatapan bosan. Level penghinaannya meningkat. Aku tidak lagi dianggap ancaman, aku hanya dianggap gangguan kecil yang membosankan.

Saat itulah aku sadar. Strategi seranganku gagal total. Sarkasme tidak mempan. Penghinaan terselubung tidak berhasil. Aku butuh pendekatan baru. Aku butuh data. Seperti yang terjadi di belakang sekolah tempo hari, aku harus kembali menjadi peneliti. Masalahnya, Kayla bukan subjek yang mudah diteliti. Dia bergerak dalam pola yang sama setiap hari. Datang tepat waktu, belajar, ke perpustakaan, pulang tepat waktu. Dunianya sekaku seragam sekolah.

Aku butuh keajaiban. Atau setidaknya, kebetulan.

Dan kebetulan itu datang pada hari kelima, di pagi hari.

Aku datang lebih pagi dari biasanya. Bukan karena aku mendadak rajin. Sama sekali bukan. Alasannya lebih menyedihkan: aku salah pasang alarm. Aku kira jam enam, ternyata masih jam setengah enam. Nasi sudah menjadi bubur, tidurku sudah hancur. Jadi, kuputuskan untuk berangkat saja. Siapa tahu dengan datang pagi, aku bisa menyerap sisa-sisa kepintaran anak-anak rajin yang mungkin tertinggal di udara kelas.

Sekolah masih sepi. Hanya ada beberapa petugas kebersihan dan murid-murid dari planet "Aku Harus Jadi yang Pertama" yang sudah duduk manis di kelas sambil membaca buku yang tebalnya seperti bantal. Aku berjalan santai di koridor. Dan saat itulah aku melihatnya.

Di ujung koridor kelasku, di dekat deretan pot-pot tanaman hias yang menjadi proyek gagal pelajaran biologi tahun lalu, aku melihat sesosok punggung yang kukenal. Punggung yang lurusnya seperti penggaris. Kayla.

Dia sedang berjongkok. Sendirian. Dia pikir tidak ada siapa-siapa. Aku langsung berhenti, bersembunyi di balik pilar besar. Lagi-lagi aku merasa seperti agen rahasia. Sepertinya aku punya bakat di bidang ini.

Aku mengintip. Apa yang sedang dia lakukan? Apakah dia sedang menaruh perangkap untukku? Apakah dia sedang melakukan ritual pagi untuk menambah kepintarannya?

Ternyata bukan.

Dia sedang mengurusi salah satu tanaman. Bukan tanaman yang sehat dan rimbun. Tapi satu tanaman paling merana di antara yang lain. Daunnya sudah menguning, batangnya kurus kering, dan tampak sudah pasrah pada takdir. Tanaman itu sepertinya sudah siap untuk upacara pemakamannya sendiri.

Lihat selengkapnya