Beberapa hari berikutnya berjalan dalam pola yang aneh. Aku datang pagi, menyelinap seperti maling ayam, menaruh surat di laci mejanya, lalu kembali ke wujud asliku sebagai Farel si pemalas. Dan setiap hari, reaksinya sama persis seperti reaksi pada "Alasan ke-5" yang bersejarah itu. Dia akan menemukan suratnya, membacanya dua kali, menatap sekeliling dengan tatapan bingung, lalu melipat kertas itu dengan rapi dan menyimpannya.
Dia tidak pernah membuangnya lagi.
Ini kemajuan. Tapi kemajuan ini membuatku cemas. Tadinya, misiku sederhana: membuatnya kesal. Sekarang, aku tidak tahu apa tujuanku. Aku hanya terus menulis. Aku menulis tentang hal-hal kecil yang kuamati. Tentang cara dia mengikat tali sepatunya yang putus dengan simpul yang rumit. Tentang cara dia diam-diam meminjamkan penghapus pada teman yang membutuhkan tanpa bicara. Hal-hal yang tidak penting, tapi entah kenapa terasa penting untuk kutulis.
Ojan mulai curiga. "Rel, tulisan lo kok jadi aneh?" katanya suatu hari di warung. "Kayak lirik lagu Ebiet G. Ade. Gak ada lucu-lucunya. Gak seru, ah."
"Seni itu butuh evolusi, Jan," jawabku asal. "Kau tidak akan mengerti."
Dia hanya menatapku aneh. Bagus. Biarkan saja mereka bingung. Aku sendiri juga bingung.
Puncak dari kebingunganku terjadi pada hari Jumat, saat jam istirahat kedua. Aku sedang duduk di pojok kantin, mencoba menikmati bakwan yang tingkat kematangannya sempurna, saat aku melihat Kayla dan Siva berjalan masuk. Bukan ke kantin. Tapi ke perpustakaan.
Ini aneh. Kayla memang anak perpustakaan. Tapi Siva? Dia alergi pada buku yang tidak ada gambarnya. Pasti ada sesuatu yang penting. Dan karena sekarang aku sudah mengangkat diriku sendiri sebagai kepala departemen riset tentang Kayla, aku merasa wajib untuk mencari tahu.
"Aku duluan," kataku pada teman-temanku. "Ada panggilan alam."
"Alam mana?" tanya Ojan.
"Alam baka," jawabku, lalu pergi sebelum mereka sempat bertanya lebih jauh.
Aku berjalan menuju perpustakaan. Aku benci perpustakaan. Tempat itu terlalu sunyi. Membuatku mendengar suara-suara di kepalaku sendiri dengan lebih jelas. Dan akhir-akhir ini, suara-suara itu makin aneh. Tapi demi riset, aku rela berkorban.
Aku masuk. Udara dingin dari AC langsung menyambutku. Aku pura-pura berjalan ke rak paling tinggi dan paling membosankan. Rak buku-buku tebal tentang ekonomi makro. Tidak akan ada orang waras yang mendekati rak ini. Tempat persembunyian yang sempurna. Dari celah antara buku ‘Teori Moneter Lintas Zaman’ dan ‘Panduan Ekspor-Impor untuk Pemula’, aku punya pemandangan sempurna ke salah satu meja di sudut ruangan. Meja tempat Kayla dan Siva duduk.
Mereka tidak sedang membaca buku. Mereka sedang berkonspirasi. Aku tahu itu dari cara mereka duduk yang saling berhadapan dan suara mereka yang seperti bisikan.
"Jadi, kita harus selesaikan ini hari ini," kata Siva sambil mengeluarkan secarik kertas dan pulpen. "Aku udah nggak tahan penasaran."
Kayla menghela napas. Dia tampak lelah. "Ngapain sih, Siv? Gak penting juga. Paling orang iseng."
"Iseng kok tiap hari? Iseng kok tulisannya rapi? Ini bukan iseng, ini misi," bantah Siva dengan semangat. "Sekarang, kita buat daftar tersangkanya."
Aku di balik rak buku, menahan napas. Jantungku berdebar. Mereka akan membahas kasusku. Ini seperti menonton berita kriminal tentang dirimu sendiri.
"Oke, tersangka pertama," kata Siva sambil menulis. "Rangga."
Rangga. Si Ketua OSIS. Anak pintar, kalem, jago pidato. Kandidat yang sangat logis.
Kayla berpikir sejenak. "Nggak mungkin," katanya. "Dia terlalu sibuk ngurusin proposal acara 17-an. Lagian, gaya tulisannya terlalu... langsung. Rangga kalau nulis pasti lebih berbunga-bunga, pakai majas personifikasi segala macam."