32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #11

PASAR MALAM

Alasan ke-8: Ternyata lo kelihatan beda di bawah lampu pasar malam. Nggak segalak di bawah lampu neon kelas.

Malam Minggu, menurut para ahli percintaan di kelasku, adalah malam keramat. Malam untuk pamer pacar, pamer motor baru, atau minimal pamer kesedihan di media sosial. Bagiku dan teman-temanku, Malam Minggu artinya sama saja: pindah tempat nongkrong dari warung belakang sekolah ke tempat yang sedikit lebih ramai.

Malam ini, pilihan jatuh pada pasar malam di alun-alun.

Pasar malam itu seperti sekolah di malam hari. Ramai, berisik, dan semua orang sibuk menunjukkan versi terbaik dari diri mereka. Bedanya, di sini tidak ada guru BP. Yang ada hanya penjual arum manis, komidi putar yang musiknya terdengar seperti kaset rusak, dan bapak-bapak yang menyuruhmu melempar gelang ke leher botol dengan iming-iming hadiah piring cantik. Sebuah jebakan kebahagiaan yang sempurna.

"Rel, main itu, yuk!" ajak Ojan sambil menunjuk stan lempar bola. Hadiahnya boneka lumba-lumba berwarna pink yang matanya juling. "Gue mau dapetin itu buat gebetan gue."

"Gebetan lo yang mana?" tanyaku. "Data terakhir yang gue tahu, ada tiga."

"Yang paling baru," jawabnya enteng.

Aku hanya menggelengkan kepala. Aku tidak ikut. Aku sedang tidak dalam mood untuk membuktikan kejantananku dengan cara melempar bola ke tumpukan kaleng susu kental manis. Pikiranku sedikit melayang. Sejak kejadian di perpustakaan, aku jadi lebih banyak berpikir. Itu melelahkan.

Aku masih menjalankan Misi 32. Surat ke-6 dan ke-7 sudah kuselipkan di lacinya. Isinya masih tentang observasi-observasi kecil. Tentang cara dia selalu punya plester di kotak pensilnya untuk menolong teman yang terluka, atau tentang tulisan tangannya yang miring ke kanan dengan konsisten. Reaksinya masih sama. Dia membacanya, lalu menyimpannya. Tanpa komentar, tanpa ekspresi. Kemajuannya stagnan. Penelitianku butuh data baru yang lebih mengejutkan.

"Gue mau beli minum dulu," kataku pada Ojan yang sudah sibuk melempar bola dengan kekuatan penuh, seolah kaleng-kaleng itu punya utang padanya.

Aku memisahkan diri dari kerumunan. Aku berjalan pelan, melewati lautan manusia. Melewati aroma jagung bakar, suara tawa anak-anak, dan lagu dangdut koplo yang diputar dari speaker yang sepertinya mau meledak. Aku hanya ingin mencari sudut yang sedikit lebih tenang.

Aku berhenti di dekat area kuliner. Deretan warung tenda yang menjual segalanya, dari sate ayam sampai kerak telor. Mataku menyapu pemandangan itu tanpa minat khusus.

Dan saat itulah aku melihatnya.

Di salah satu warung tenda paling ujung, yang paling kecil dan paling sederhana, aku melihat sesosok figur yang sangat kukenal. Sosok dengan rambut ekor kuda yang khas. Tapi konteksnya salah. Latar tempatnya salah. Segalanya terasa salah.

Otakku butuh beberapa detik untuk memproses. Kayla? Di sini? Bekerja? Mustahil.

Aku mendekat sedikit, bersembunyi di balik tiang penyangga tenda penjual es kelapa. Aku harus memastikan. Mungkin aku salah orang. Mungkin itu hanya gadis lain yang kebetulan punya model rambut yang sama.

Lihat selengkapnya