Kamu tahu, Farel, sebelum semua ini dimulai, duniaku tak lebih dari sistem yang berjalan sempurna. Semuanya punya tempat, semuanya punya aturan. Pagi hari untuk belajar, jam istirahat untuk mengulang catatan, sore hari untuk membantu Ibu. Tidak ada ruang untuk anomali. Tidak ada tempat untuk hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Bagiku, hidup hanyalah soal-soal fisika yang, jika kau cukup teliti, pasti akan menemukan jawabannya.
Lalu kau datang. Bukan sebagai Farel yang kukenal, tapi sebagai hantu. Hantu yang meninggalkan sampah di laciku.
Aku menyebutnya sampah. Karena memang begitulah awalnya. Selama empat hari berturut-turut, aku menemukan secarik kertas lecek di antara buku-bukuku yang tersusun rapi. Bagiku itu pelanggaran teritori yang menjengkelkan. Aku punya ritual untuk itu. Menemukannya, membaca sekilas dengan napas yang tertahan karena jengkel, lalu dengan satu gerakan pasti, meremasnya menjadi bola padat dan melemparkannya ke tempat sampah.
Thump.
Bunyi yang memuaskan. Masalah selesai. Sistem kembali normal.
Surat pertama, tentang tatapanku yang katanya seperti mau memusnahkan kecoa terbang, langsung kuremas tanpa ampun. Kreatif, tapi tetap sampah. Surat kedua, tentang suaraku yang disamakan dengan alarm kebakaran, juga berakhir di tempat yang sama. Surat ketiga dan keempat?
Semakin payah dan tidak kreatif. Aku menyimpulkan, pengirimnya pastilah seseorang yang punya terlalu banyak waktu luang dan terlalu sedikit sel otak.
Gangguan yang sepele.
Sistemku selalu berhasil. Hingga hari kelima. Di hari itu, sistemku rusak.
Pagi itu, sebelum bel berbunyi, aku melakukan ritual rahasiaku. Di ujung koridor, ada deretan pot tanaman hias yang menjadi proyek gagal pelajaran biologi tahun lalu. Mereka semua merana, tapi ada satu yang paling menyedihkan. Daunnya kuning, batangnya kurus, seolah sudah menyerah pada matahari. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak bisa membiarkannya mati. Mungkin karena aku melihat diriku di dalamnya. Berjuang sendirian agar tidak layu di tengah dunia yang tidak peduli. Diam-diam, aku memberinya pupuk cair yang kubawa dari rumah. "Jangan mati, ya," bisikku padanya. "Kamu pasti bisa."
Tidak ada yang melihat. Aku yakin. Sekolah masih seperti kota hantu.
Lalu, di kelas, aku menemukan surat kelima. Kertasnya lebih rapi. Tulisannya lebih tertata. Aku membukanya, sudah siap dengan ejekan baru. Tapi yang kutemukan bukan ejekan.
Alasan ke-5: Lo kelihatan galak, tapi gue lihat lo ngasih pupuk ke tanaman di depan kelas yang hampir mati. Lo peduli sama hal-hal kecil yang orang lain abaikan.
Jantungku seperti berhenti berdetak selama sepersekian detik. Aku membaca kalimat itu lagi. Dan lagi. Kalimat itu menatapku balik, seolah tahu semua rahasiaku.
Bagaimana dia tahu?
Pertanyaan itu terasa seperti batu yang dilempar ke permukaan danau duniaku yang tenang, menciptakan riak-riak yang tidak bisa berhenti. Ini bukan lagi gangguan. Ini seperti laporan intelijen. Pelanggaran privasi. Seseorang telah mengamatiku. Seseorang telah melihat momen paling pribadiku, momen di mana aku tidak sedang menjadi Kayla yang normal.
Benteng pertahananku, yang kubangun dengan susah payah, terasa bergetar. Ada retakan kecil muncul. Siapa orang ini? Siapa yang punya waktu, perhatian, dan ketajaman untuk melihat hal yang bahkan Siva, sahabatku sendiri, tidak tahu?