Alasan ke-10: Gue suka cara lo ngitung uang kembalian. Teliti. Kayak hidup lo bergantung pada setiap kepingnya.
Sudah seminggu lebih sejak insiden di pasar malam. Seminggu lebih sejak aku melihat sisi lain dari Kayla yang membuat semua teoriku tentangnya hancur berantakan. Sejak saat itu, Misi 32 berubah. Bukan lagi hukuman. Bukan lagi penelitian. Sekarang, rasanya lebih seperti... kebiasaan. Kebiasaan yang aneh dan sedikit berbahaya.
Setiap pagi, aku masih menjalankan ritual yang sama. Menyelipkan secarik kertas di lacinya. Tapi sekarang, perasaannya berbeda. Aku tidak lagi merasa seperti maling. Aku lebih merasa seperti petugas pos rahasia yang mengantarkan surat untuk satu-satunya pelanggan di dunia.
Surat "Alasan ke-8" tentang pasar malam itu menjadi yang pertama kali kumulai dengan perasaan campur aduk. Aku gugup saat menaruhnya. Aku takut dia marah karena aku melihat rahasianya. Tapi ternyata tidak. Reaksinya sama seperti surat tentang tanaman. Dia membacanya, diam sejenak, lalu melipatnya dan menyimpannya. Tidak ada amarah. Hanya keheningan yang panjang.
Sejak itu, nada tulisanku berubah total. Aku tidak bisa lagi menulis hal-hal sarkastis. Rasanya seperti menghina perjuangannya. Jadi, aku menulis apa yang kulihat.
"Alasan ke-9: Kemarin gue lihat lo betulin keran wastafel yang bocor pakai karet gelang. Padahal itu tugas penjaga sekolah. Lo itu diam-diam pahlawan kesiangan untuk hal-hal yang tidak ada pialanya."
Itu terjadi begitu saja. Aku sedang mencuci tangan, dan melihatnya sedang mengutak-atik keran yang airnya muncrat ke mana-mana. Dia melakukannya dengan wajah serius, seolah sedang menjinakkan bom. Setelah berhasil, dia hanya membersihkan tangannya dan pergi, tanpa memberitahu siapa-siapa. Aku melihatnya. Dan aku menuliskannya.
Lalu ada "Alasan ke-10". Untuk yang satu ini, aku butuh usaha lebih.
Malam Minggu berikutnya, aku tidak pergi dengan Ojan dan yang lain. Aku bilang aku harus membantu ibuku di rumah, aku menganggapnya kebohongan putih yang mulia. Padahal, aku pergi ke pasar malam lagi.
Sendirian.
Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Aku hanya merasa harus ke sana. Aku tidak punya niat untuk menemuinya atau berbicara dengannya. Aku hanya ingin memastikan, apakah yang kulihat minggu lalu itu nyata atau hanya halusinasiku saja. Aku membeli segelas es teh dari warung di seberang warungnya, lalu duduk di bangku yang agak jauh. Menjadi pengamat lagi.
Malam itu, warungnya lebih ramai. Dia dan ibunya tampak sangat sibuk. Aku melihatnya berlari ke sana kemari, mencatat pesanan, mengantar piring, dan sesekali menyeka keringat di dahinya. Senyum formalitasnya masih terpasang. Tapi malam ini, aku bisa melihat sesuatu yang lain di balik senyum itu.
Kekuatan.
Saat warung mulai tutup, aku melihat pemandangan yang menginspirasi tulisanku. Aku melihat dia dan ibunya duduk berhadapan di salah satu bangku, menghitung uang hasil jualan hari itu. Ibunya menghitung uang kertas, dan Kayla menghitung uang koin. Jarinya bergerak dengan cepat dan teliti, memisahkan koin lima ratusan dan seribuan. Matanya fokus. Tidak ada satu keping pun yang luput. Dia menghitungnya seolah-olah setiap koin itu menjadi penentu hidup dan mati.