32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #13

DILEMA SANG PENULIS

Ada ritme baru dalam hidupku sekarang. Pagi hari, aku menjadi agen rahasia yang menjalankan misi penyelipan kertas. Siang hari, aku berubah menjadi peneliti yang mengamati subjek dari jauh. Malam hari, aku berwujud penulis yang mencoba merangkai kata dari data-data yang kukumpulkan. Jadwal hidupku jadi lebih padat daripada jadwal les anak SD kompleks sebelah.

Aku jadi tahu banyak hal tentang Kayla. Aku tahu kalau dia benci terong, karena setiap kali menu di kantin ada terongnya, dia akan memilih makan roti. Aku tahu dia selalu mengikat tali sepatu kanannya dua kali, mungkin karena sering lepas. Aku tahu dia punya tahi lalat kecil di bawah telinga kirinya, yang hanya terlihat kalau dia sedang menguncir rambutnya tinggi-tinggi.

Ini bukan menguntit. Ini riset. Aku terus meyakinkan diriku seperti itu. Riset demi kesuksesan Misi 32.

Surat-suratku terus mengalir. Isinya semakin jauh dari sarkasme. "Alasan ke-11: Cara lo panik waktu sadar ada coretan pulpen di ujung lengan seragam lo itu lucu. Kayak dunia mau kiamat cuma gara-gara noda sekecil itu." atau "Alasan ke-12: Gue suka tulisan lo di mading sekolah. Singkat, cerdas, dan nggak ada basa-basinya. Persis kayak orangnya."

Setiap pagi, aku melihatnya mengambil suratku, membacanya, lalu menyimpannya di dalam amplop putih keramatnya. Kami punya ritual. Ritual bisu yang hanya kami berdua yang tahu. Atau setidaknya, itu yang kupikir.

Ternyata, ada pihak lain yang memperhatikan perubahanku. Pihak yang lebih berbahaya dari guru BP: Ojan.

Kejadiannya di warung belakang sekolah, habitat asli kami. Aku sedang duduk di pojok, mencoba menulis draf untuk "Alasan ke-13" di selembar kertas tisu. Yang lain sedang sibuk membahas formasi tim futsal untuk pertandingan antar kelas. Aku tidak ikut. Pikiranku sedang sibuk mencari padanan kata yang tepat untuk menggambarkan cara Kayla mengerutkan kening saat membaca buku.

"Rel."

Aku tidak mendengar.

"Farel."

Aku masih fokus pada kertas tisuku.

PLAK. Gulungan koran mendarat di kepalaku. Tidak keras, tapi cukup untuk membuatku kembali ke alam nyata. Pelakunya, tentu saja, Ojan.

"Apaan sih, Jan?" protesku.

Dia menatapku dengan tatapan aneh. Tatapan seorang ayah yang khawatir melihat anaknya mulai salah pergaulan. "Lo itu yang apaan," katanya. "Kita lagi ngomongin strategi, lo malah senyum-senyum sendiri lihat kertas tisu. Lo sehat?"

Aku langsung melipat kertas itu dan memasukkannya ke saku. "Lagi dapet ilham," jawabku asal.

"Ilham apaan?" Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Ilham buat surat cinta lagi?"

Aku diam.

"Lo aneh, Rel, beberapa minggu ini," lanjutnya. "Lo lebih sering megang pulpen daripada gitar. Lo lebih sering bengong daripada ngetawain lelucon gue. Lo bahkan kemarin nolak diajak main PS. Nolak main PS! Itu bukan Farel yang gue kenal."

Aku berusaha terlihat santai. "Orang kan bisa berubah, Jan. Menuju kedewasaan."

"Kedewasaan apaan?" Ojan tertawa sinis. "Sejak kapan kedewasaan itu bentuknya nulis surat buat Kayla tiap hari? Gila, lo niat banget. Jangan-jangan..."

Lihat selengkapnya