32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #14

TAK INGIN SEMBUH

Alasan ke-15: Waktu lo gugup sebelum pidato, lo gigit bibir bawah lo. Gue pengen bilang, ‘Nggak apa-apa, lo pasti bisa.’ tapi gue cuma bisa nonton dari jauh.

Ada hukum tak tertulis di antara aku dan teman-temanku. Hukum itu berbunyi: "Jumat sore adalah waktu sakral untuk tidak melakukan apa-apa di warung belakang sekolah." Salah satu ritual kami. Ritual untuk melepas lelah setelah lima hari berpura-pura menjadi murid yang baik. Biasanya, aku menjadi orang pertama yang akan menyuarakan pentingnya ritual ini.

Tapi hari Jumat ini berbeda. Ada sesuatu yang mengganggu jadwal suci kami.

Aku mengetahuinya secara tidak sengaja. Pagi itu, saat sedang berjalan di koridor dengan kecepatan siput, mataku menangkap pengumuman di mading. Kertas HVS berwarna kuning mencolok. Judulnya: "Lomba Pidato Bahasa Indonesia Tingkat Sekolah." Aku biasanya akan melewati pengumuman seperti ini tanpa melirik. Karena itu bukan duniaku. Tapi kemudian, aku membaca daftar pesertanya. Dan di nomor urut tujuh, ada nama yang membuat langkahku berhenti.

Kayla Adisti, Kelas XII IPS 2.

Tentu saja. Siapa lagi? Kalau ada lomba yang hadiahnya berupa pengakuan, dia pasti ikut.

Aku berdiri di depan mading itu selama beberapa saat. Lomba akan diadakan siang ini, setelah jam sekolah selesai, di aula. Itu artinya, waktunya bentrok dengan ritual keramatku di warung. Aku harus memilih. Pilihan antara gitar dan gosip ngawur bersama teman-temanku, atau... atau penelitian.

"Woi!" Ojan menepuk bahuku dari belakang, membuatku kaget. "Ngapain lo baca mading? Tumben. Mau ikut lomba?"

"Iya," jawabku asal. "Lomba tidur cepat."

Ojan tertawa, lalu menarikku pergi. "Ayo ke kelas. Nanti telat, bisa-bisa disuruh hormat tiang bendera lagi sama Pak Kumis."

Sepanjang sisa pelajaran hari itu, pikiranku tidak tenang. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri. Buat apa aku menontonnya? Tidak ada gunanya. Itu bukan bagian dari taruhan. Aku hanya perlu menulis 32 alasan, bukan menjadi penguntit profesionalnya. Lebih baik aku pergi ke warung, minum es teh, dan melupakan semuanya. Itu lebih mudah. Lebih logis.

Tapi ada suara kecil di kepalaku yang terus berbisik. "Ini data penting, Rel. Kau tidak boleh melewatkannya."

Suara itu menyebalkan.

Jadi, saat bel pulang berbunyi, aku membuat sebuah keputusan. Aku menghampiri Ojan yang sudah siap-siap menyandang tasnya.

"Jan, gue kayaknya nggak bisa ikut nongkrong hari ini," kataku dengan wajah seserius mungkin.

Ojan menatapku curiga. "Kenapa? Ada acara?"

Aku sudah menyiapkan alasannya. Alasan paling klise dan paling ampuh. "Disuruh ibu beli tabung gas. Katanya di rumah habis. Bisa gawat kalau nggak ada gas, nanti malam nggak makan."

Ojan menatapku dari atas ke bawah. Dia seperti sedang memindai kebohongan di wajahku. "Aneh," katanya. "Perasaan kemarin lo bilang ibu lo baru beli gas."

Lihat selengkapnya