Hari Senin pagi. Menurutku, Senin selalu jadi hari yang paling tidak kreatif yang pernah diciptakan. Namanya saja sudah terdengar seperti keluhan. Se-nin. Berat. Dan hari Senin ini terasa lebih berat dari biasanya. Alasannya ada di saku seragamku. Sebuah kertas berisi "Alasan ke-15".
Ini bukan surat biasa. Surat-surat sebelumnya adalah hasil penelitian. Aku melihat, aku mencatat, aku melaporkan. Aman. Terkendali. Tapi surat yang ini berbeda. Surat ini bukan laporan. Ini pengakuan.
Aku menulis tentang rasa banggaku padanya. Bangga. Itu jadi kata yang berbahaya. Terdengar seperti perasaan yang seharusnya tidak kumiliki untuk subjek penelitianku. Itu melanggar etika riset. Aku telah berbuat tidak profesional.
Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku terus memikirkan reaksi Kayla. Bagaimana jika dia marah? Bagaimana jika dia merasa aku mengejeknya? Menulis tentang kegalakannya itu aman. Menulis tentang kebaikannya pada kucing itu berisiko. Tapi menulis tentang rasa banggaku padanya? Itu sama dengan menyerahkan hatiku dalam sebuah nampan, lengkap dengan tulisan "Silakan diinjak jika berkenan."
Aku hampir memutuskan untuk tidak memberikannya. Aku hampir membuang surat itu di perjalanan ke sekolah. Tapi aku tidak bisa. Aku sudah menulisnya. Dan rasanya akan lebih pengecut lagi jika aku tidak berani mengirimkan sesuatu yang sudah kutulis dengan jujur. Meskipun kejujuran itu lahir dari sebuah kebohongan besar. Hidup memang rumit.
Seperti biasa, aku tiba di kelas yang masih sepi. Aku menjalankan misi penyelipan dengan gerakan yang sekarang sudah seperti tarian. Cepat, senyap, dan penuh dengan kecemasan yang tidak perlu. Saat menaruh kertas itu di lacinya, aku merasa seperti cicak yang baru saja memutuskan ekornya. Aku meninggalkan sebagian dari diriku di sana. Aku hanya bisa berharap, ekor itu tidak akan dipungut lalu dibuang ke tempat sampah.
Aku kembali ke bangkuku dan langsung menelungkupkan kepala di atas meja. Aku tidak mau melihat saat dia datang. Aku akan berpura-pura tidur. Itu menjadi mekanisme pertahanan terbaik di dunia. Orang tidak akan mengganggu orang yang sedang tidur.
Tapi aku tidak tidur. Telingaku bekerja lebih keras dari biasanya, mencoba menangkap setiap suara. Aku mendengar suara langkah kaki. Itu pasti dia. Selalu tepat waktu. Aku mendengar suara tas diletakkan di meja. Lalu suara kursi ditarik. Dia sudah di singgasananya.
Aku menunggu. Jantungku berdebar lebih kencang dari musik di pasar malam. Ini lebih menegangkan daripada menunggu pengumuman nilai rapor. Kalau nilai rapor, aku sudah tahu hasilnya akan mengecewakan. Kalau yang ini, aku tidak tahu apa-apa.
Aku mendengar suara laci dirogoh. Hening sejenak. Dia pasti sudah menemukannya.
Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala sedikit, mengintip dari balik lenganku. Aku melihatnya sedang memegang kertas itu. Membacanya.
Wajahnya… tidak berekspresi.
Ini lebih buruk dari yang kubayangkan. Kalau dia marah, setidaknya aku tahu perasaanku sampai padanya. Kalau dia datar seperti ini, artinya apa? Apakah suratku begitu buruk sampai tidak layak diberi reaksi? Apakah tulisanku begitu membosankan?
Dia membaca tulisan itu lebih lama dari biasanya. Sangat lama. Dia tidak membacanya dua kali, dia seperti membacanya per kata. Mencernanya. Menganalisisnya. Mungkin dia sedang mencari kesalahan tata bahasa di dalamnya.
Aku panik. Pikiranku mulai kacau. Aku membayangkan skenario terburuk. Dia akan berdiri. Berjalan ke depan kelas. Lalu membacakan suratku dengan suara keras. "Teman-teman, dengarkan karya sastra dari seorang pengecut ini," mungkin begitu katanya. Lalu seisi kelas akan menertawakanku.
Aku juga membayangkan skenario terbaik. Dia akan menoleh ke belakang. Menatap lurus ke arahku, meskipun dia tidak tahu itu aku. Lalu matanya akan berkaca-kaca. Dan dia akan tersenyum. Senyum tulus pertamanya untuk si pengirim misterius.