32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #16

SAHABAT PENGKHIANAT

Aku sedang dalam suasana hati yang baik. Sangat baik. Ini adalah perasaan yang langka bagiku, seperti menemukan uang di saku celana yang sudah lama tidak dipakai. Selama beberapa minggu terakhir, duniaku yang biasanya datar dan berwarna abu-abu, tiba-tiba punya kontras yang lebih tajam. Ada hitam dan putih, ada terang dan gelap. Dan semua itu berpusat pada satu orang: Kayla.


Misi 32 sudah melewati setengah jalan. Aku sudah tidak lagi menghitungnya sebagai hukuman. Sekarang, ini lebih terasa seperti sebuah buku harian. Bukan buku harianku, tapi buku harian tentang dia, yang kutulis dari sudut pandangku. Setiap hari menjadi halaman baru. Setiap observasi menghasilkan kalimat baru.


Aku merasa seperti Columbus yang baru saja menemukan benua baru. Benua bernama Kayla. Dan aku menjadi satu-satunya penduduk di sana. Aku tahu hal-hal yang tidak diketahui orang lain. Aku tahu kalau dia akan mengetuk-ngetukkan pulpennya ke meja saat sedang berpikir keras. Aku tahu kalau dia benci bau durian, karena suatu hari teman sebangkunya membawa permen rasa durian dan wajah Kayla langsung terlihat seperti mau kiamat. Aku tahu kalau dia lebih suka teh tawar hangat daripada es teh manis.


Semua detail kecil itu adalah hartaku. Harta karun yang kudapatkan dari penelitian panjang dan melelahkan.


Dan dia... dia sepertinya juga mulai menikmati permainan ini. Dia tidak pernah lagi membuang suratku. Dia menyimpannya. Kadang, saat aku beruntung, aku bisa menangkap sekilas ekspresinya saat membaca. Kerutan bingung, tarikan napas kecil, atau—jika aku sangat-sangat beruntung—senyuman sepersekian detik yang langsung ia sembunyikan. Momen-momen itu sebagai bayaranku. Lebih berharga dari hadiah piring cantik di minimarket.


Hari itu adalah hari Rabu. Jadwalnya adalah pelajaran tambahan Matematika Wajib sore hari. Itu artinya, aku punya alasan yang sah untuk tidak ikut nongkrong di warung. Aku tidak perlu berbohong pada Ojan.


"Gue ada kelas tambahan," kataku pada Ojan saat bel pulang berbunyi.


"Matematika? Tumben lo ikut?" tanyanya, curiga.


"Aku ingin memperbaiki masa depanku, Jan," jawabku dengan nada bijak. "Pendidikan itu penting."


Ojan hanya menatapku dengan pandangan 'aku-tidak-percaya-tapi-aku-malas-berdebat'. "Ya sudah. Awas kesurupan rumus," katanya, lalu pergi bersama yang lain menuju markas kami.


Aku tidak berbohong. Aku memang ikut kelas tambahan. Selama sekitar lima belas menit pertama. Setelah Pak Burhan selesai mengabsen dan mulai menulis integral lipat tiga di papan tulis, aku memutuskan bahwa masa depanku lebih baik diselamatkan dengan cara lain. Aku menyelinap keluar kelas dengan alasan ke toilet, lalu tidak pernah kembali.


Aku tidak pulang. Aku pergi ke tempat rahasiaku yang baru: perpustakaan.


Aku butuh tempat yang tenang untuk mengerjakan "Alasan ke-18". Aku punya materi yang bagus hari ini. Tadi pagi, saat upacara bendera, aku melihat Kayla diam-diam memberikan minyak kayu putih pada adik kelas yang wajahnya pucat. Dia melakukannya tanpa suara, hanya menyodorkan botol kecil itu lalu kembali berdiri tegap seolah tidak terjadi apa-apa. Hatiku menghangat melihatnya. Aku harus menulis tentang itu.


Aku duduk di sudut paling sepi di perpustakaan, di antara rak-rak buku sejarah yang berdebu. Aku mengeluarkan kertas dan pulpen. Aku mulai berpikir. Aku tidak mau hanya menulis, "Lo baik karena ngasih minyak kayu putih." Itu terlalu dangkal. Aku ingin menulis tentang bagaimana kebaikannya selalu dilakukan dalam diam, seperti agen rahasia yang menjalankan misi kemanusiaan.


Aku menulis, menghapus, lalu menulis lagi. Aku sangat serius. Aku merasa seperti seorang pujangga yang sedang menyusun mahakaryanya. Aku lupa waktu. Aku lupa teman-temanku. Aku lupa kalau aku seharusnya ada di kelas Matematika. Duniaku saat itu hanya aku, kertas, dan bayangan tentang Kayla.

Lihat selengkapnya