Pagi itu, aku berjalan ke sekolah dengan perasaan paling ringan dalam sejarah hidupku. Aku merasa seperti seorang ilmuwan yang akan memenangkan hadiah Nobel. Aku baru saja berhasil memecahkan teka-teki besar: bagaimana cara membuat Kayla tidak marah. Jawabannya: dengan kejujuran. Kejujuran yang dibungkus dalam kebohongan, tentu saja. Tapi itu detail kecil.
Aku menyelipkan "Alasan ke-18" tentang kebaikan ninjanya ke dalam laci. Aku melakukannya dengan senyuman. Aku bahkan menyapanya dalam hati, 'Selamat pagi, subjek penelitianku. Semoga harimu menyenangkan setelah membaca laporanku.'
Reaksinya pagi itu adalah data terbaikku sejauh ini. Dia membaca surat itu, dan aku bersumpah, aku melihatnya. Senyuman tipis yang sesungguhnya. Bukan senyum tersembunyi seperti kemarin. Kali ini sedikit lebih jelas, meskipun hanya bertahan selama dua detik sebelum dia kembali memasang wajah datarnya. Dua detik. Itu adalah rekor dunia baru. Kemajuan yang pesat.
Aku merasa seperti pahlawan. Aku, Farel, telah berhasil membawa sedikit kehangatan ke kutub utara. Aku merasa hebat.
Perasaan itu bertahan sampai jam pelajaran kedua.
Saat aku berjalan di koridor menuju toilet, aku mulai merasakan ada yang aneh. Beberapa adik kelas yang berpapasan denganku menatapku, lalu berbisik-bisik. Aku tidak peduli. Mungkin mereka mengagumi gaya rambutku yang hari ini kebetulan terlihat bagus. Aku memang sering jadi panutan tanpa kusadari.
Tapi kemudian, aku melihat sekelompok siswi dari kelasku sendiri. Saat aku lewat, aku mendengar salah satu dari mereka berkata pelan, "...iya, si Farel itu..." lalu mereka semua tertawa. Tawa yang aneh. Bukan tawa kagum.
Perasaanku mulai tidak enak.
Aku mencoba mengabaikannya. Mungkin hanya perasaanku saja. Mungkin aku terlalu percaya diri pagi ini sehingga telingaku jadi lebih sensitif.
Tapi keanehan itu terus berlanjut. Aku mulai memperhatikan bahwa orang-orang tidak hanya menatapku. Mereka juga menatap Kayla. Tatapan mereka pada Kayla juga aneh. Ada yang terlihat kasihan, ada yang terlihat mengejek, ada yang terlihat penasaran. Kayla, dengan radarnya yang super sensitif, pasti merasakannya juga. Aku melihatnya berjalan lebih cepat dari biasanya, punggungnya semakin lurus dan kaku. Bentengnya sedang dalam mode siaga satu.
Apa yang terjadi? Apakah ada gosip baru? Gosip tentang kami? Tapi siapa yang tahu? Rahasia ini hanya milikku. Dan Kayla. Dan Ojan serta teman-temanku.
Tunggu sebentar.
Pikiranku langsung tertuju pada Ojan. Aku ingat tatapannya yang aneh di warung beberapa hari yang lalu. Aku ingat pertanyaannya yang menuduh. Jangan-jangan…
Tidak. Tidak mungkin. Ojan itu sahabatku. Meskipun otaknya kadang perlu di-restart, dia tidak akan mungkin... kan?
Jam istirahat tiba. Perasaanku semakin tidak karuan. Seperti mau ada ulangan dadakan, tapi yang akan diuji bukan otakku, melainkan seluruh hidupku.
Aku, Ojan, dan yang lain duduk di meja biasa kami di kantin. Aku mencoba bertingkah normal. Tapi aku tidak bisa berhenti mengawasi sekeliling. Dan aku juga tidak bisa berhenti mengawasi Kayla.
Dia duduk bersama Siva di meja mereka yang biasa. Dia sedang mencoba makan nasi gorengnya, tapi gerakannya terlihat kaku. Dia tidak terlihat nyaman. Dia bisa merasakan tatapan semua orang.