Apa yang kaulakukan setelah duniamu yang kecil dan teratur hancur berkeping-keping di depan mata semua orang? Kamu berjalan. Kamu hanya perlu fokus pada satu hal: satu kaki di depan kaki yang lain. Jangan lihat kanan. Jangan lihat kiri. Jangan biarkan mereka melihatmu goyah. Jangan biarkan mereka melihatmu hancur. Punggungku harus lurus, seperti penggaris besi, meskipun di dalam, seluruh tulangku terasa telah menjadi abu.
Kantin ada di belakangku, tapi aku masih bisa merasakannya. Seperti hantu yang menempel di punggungku. Bisikan-bisikan itu, seperti desis ular. Tawa yang ditahan, lebih menyakitkan dari tawa yang dilepaskan. Dan yang terburuk, tatapan kasihan. Aku tidak butuh belas kasihan siapa pun. Tatapan-tatapan itu terasa seperti ribuan panah kecil tak terlihat, masing-masing menancap di kulitku, membawa racun yang sama: penghinaan.
Aku berhasil sampai di toilet. Tempat paling menyedihkan di sekolah, tapi hari itu, rasanya seperti surga. Aku memilih bilik paling ujung, mengunci pintunya, dan bersandar di sana. Dinginnya pintu itu terasa nyata, satu-satunya hal nyata di tengah kekacauan di kepalaku. Aku tidak menangis. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri sejak lama, air mata adalah kemewahan yang tidak kumiliki. Menangis hanya akan membuat mataku bengkak, dan aku tidak punya waktu untuk menjelaskan pada Ibu kenapa mataku bengkak. Jadi, aku hanya bernapas. Tarik. Hembuskan. Mencoba mengusir bayangan wajah Farel dari kepalaku.
Bayangan wajahnya saat dia tertawa bersama teman-temannya. Tawa yang sama yang kudengar di warung belakang sekolah saat taruhan itu dimulai, aku yakin. Tawa kemenangan mereka atas kebodohanku.
Taruhan.
Satu kata itu. Satu kata yang merangkum segalanya. Seperti rumus akhir yang menjelaskan sebuah fenomena alam yang rumit. Semua surat-surat itu. Semua perhatian aneh itu. Semua kebingunganku. Semuanya kini terjawab. Dan jawabannya lebih buruk dari yang pernah kubayangkan. Itu semua hanya permainan. Dan aku menjadi bolanya.
Tanganku, yang sejak tadi kukepal begitu erat hingga buku-buku jariku memutih, mulai gemetar. Aku merogoh saku rokku, tempat di mana aku menyimpan ‘barang bukti’ terakhir. Surat nomor sembilan belas, yang bahkan belum sempat kubaca dengan benar pagi ini. Dengan jari-jari yang kaku, aku membukanya.
Alasan ke-19: Gue suka cara lo tanpa sadar goyangin kaki kalo lagi bosan di kelas.
Aku menatap kalimat itu. Detail kecil yang bahkan aku sendiri tidak sadari. Dulu, detail-detail seperti ini yang membuatku bingung, yang membuatku mulai percaya. Detail tentang tanaman yang sekarat. Detail tentang kucing kurus di belakang sekolah. Detail tentang kegugupanku sebelum pidato. Detail tentang wajah lelahku di bawah lampu pasar malam.