32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #20

KEHENINGAN DI LACI MEJA

Katanya, penyesalan selalu datang terlambat. Menurutku itu salah. Penyesalan datang tepat waktu. Dia datang setiap hari, setiap jam, setiap menit, setelah kau melakukan sebuah kebodohan. Dia tidak pernah terlambat. Dia adalah teman sebangku barumu yang tidak akan pernah pergi, bahkan saat bel pulang sudah berbunyi.

Sudah seminggu sejak insiden di kantin. Seminggu terasa seperti setahun. Duniaku berubah. Sekolah yang tadinya taman bermain, sekarang terasa seperti lokasi kecelakaan. Dan aku adalah pengemudi ugal-ugalan yang menyebabkan semuanya.

Aku tidak lagi datang pagi. Buat apa? Tidak ada lagi misi penyelipan surat. Tidak ada lagi ritual agen rahasia. Sakuku terasa aneh, lebih ringan. Kosong. Tidak ada lagi kertas kecil yang terasa seperti granat di sana. Aku merindukan perasaan itu. Perasaan gugup saat akan melakukan hal bodoh. Ternyata, itu lebih baik daripada perasaan hampa setelah hal bodoh itu menghancurkan segalanya.

Hubunganku dengan Ojan dan yang lain juga berubah. Mereka canggung di dekatku. Ojan sudah mencoba minta maaf. Kemarin, di warung, dia menghampiriku.

"Rel, gue... gue minta maaf," katanya, tidak berani menatapku. "Gue nggak nyangka bakal jadi sebesar ini."

Aku hanya menatapnya. "Sudah, Jan," jawabku pelan. "Nasi sudah jadi bubur."

"Tapi..."

"Dan buburnya gosong," tambahku. "Tidak bisa dimakan lagi. Sudah. Lupakan saja."

Aku pergi. Aku tahu dia tidak bermaksud jahat. Dia hanya bodoh. Sama sepertiku. Tapi aku sedang tidak punya tenaga untuk memaafkannya. Memaafkan orang lain itu butuh energi, dan seluruh energiku sudah habis dipakai untuk membenci diriku sendiri.

Di kelas, aku menjadi hantu. Aku duduk di pojok, tidak bicara, tidak membuat onar. Aku hanya diam. Mungkin untuk pertama kalinya, para guru senang dengan keberadaanku. Farel akhirnya menjadi murid teladan. Teladan dalam hal menanggung rasa bersalah.

Tapi siksaan terbesarku bukanlah keheningan dari teman-temanku. Siksaan terbesarku adalah dia. Kayla.

Aku masih mengamatinya. Aku tidak bisa berhenti. Kebiasaan selama berminggu-minggu tidak bisa hilang begitu saja. Tapi sekarang, tujuanku bukan lagi untuk mencari materi tulisan. Tujuanku adalah untuk mengukur kerusakan.

Dan kerusakannya parah.

Bentengnya kembali berdiri. Lebih tinggi, lebih tebal, dan kali ini dilapisi kawat berduri yang dialiri listrik tegangan tinggi. Dia menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Dia tidak lagi pernah terlihat santai. Punggungnya selalu lurus, matanya selalu fokus pada buku, dan dia tidak berbicara jika tidak perlu. Dia membangun penjara di sekelilingnya, dan aku tahu, aku yang memberinya batu batanya.

Lihat selengkapnya