32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #21

MENGHILANG

Dulu aku punya banyak nama panggilan. Si Biang Kerok. Si Tukang Tidur. Si Raja Remedial. Aku menyukai nama-nama itu. Nama-nama itu merupakan perisai. Orang tidak akan punya ekspektasi tinggi pada biang kerok. Orang tidak akan mengganggu raja remedial. Hidupku aman di balik reputasiku yang kubangun dengan susah payah.

Sekarang, sepertinya aku punya nama baru.

Si Hantu Koridor.

Sudah lebih dari dua minggu sejak ledakan di kantin. Dan selama itu, aku berubah. Aku tidak merencanakannya. Itu terjadi begitu saja. Farel yang dulu, yang berisik, yang iseng, yang selalu punya komentar untuk segala hal, sepertinya sudah menguap. Hilang.

Yang tersisa hanya jasadnya. Jasad yang rutin datang ke sekolah, duduk di bangku paling pojok, lalu pulang saat bel berbunyi. Aku menjadi ahli dalam hal menjadi tidak terlihat. Aku datang tepat saat bel akan berbunyi, dan pergi tepat saat guru meninggalkan kelas. Aku tidak lagi mampir ke kantin. Aku tidak lagi nongkrong di warung. Aku hanya ada di dalam kelas. Itu pun hanya fisikku.

Pikiranku ada di tempat lain. Mengembara di lorong-lorong penyesalan.

Para guru sepertinya senang dengan perubahanku. Mereka pasti berpikir aku akhirnya mendapat hidayah. Suatu hari, Bu Ratih, guru Ekonomi, memanggilku saat pelajaran.

"Farel," panggilnya. Seisi kelas menoleh padaku. Mereka mungkin menunggu aku akan mengeluarkan lelucon bodoh seperti biasanya.

"Iya, Bu?" jawabku pelan.

"Coba jelaskan, apa yang dimaksud dengan inflasi?"

Dulu, aku mungkin akan menjawab, "Naiknya harga-harga, Bu. Terutama harga gorengan di kantin. Itu inflasi yang paling nyata bagi kami." Lalu seisi kelas akan tertawa.

Tapi Farel yang itu sudah tidak ada.

"Tidak tahu, Bu," jawabku, datar. Lalu aku kembali menatap ke luar jendela.

Bu Ratih terdiam sejenak, kaget. Seisi kelas juga hening. Mereka mungkin lebih kaget mendengar jawabanku daripada mendengar pengumuman libur dadakan. Farel yang menyerah pada pertanyaan? Itu adalah anomali.

Tapi aku memang sudah menyerah. Bukan hanya pada pelajaran Ekonomi. Tapi pada semuanya.

Satu-satunya hal yang tidak bisa kuabaikan hanyalah keberadaannya. Kayla.

Dia ada di sana. Dua baris di depanku. Aku tidak lagi punya keberanian untuk menatapnya. Bahkan untuk sekadar mencuri pandang pun aku tidak sanggup. Melihatnya sekarang terasa seperti menatap matahari. Aku tahu dia ada, terang dan menyakitkan. Tapi kalau aku menatapnya langsung, aku takut mataku akan buta oleh rasa bersalahku sendiri.

Jadi aku hanya mendengarkan. Aku mendengarkan suaranya saat dia menjawab pertanyaan guru. Suaranya masih sama, jelas dan percaya diri. Tapi aku merasa ada yang berbeda. Ada nada lelah yang terselip di sana, yang mungkin hanya bisa didengar oleh orang yang sudah melakukan penelitian mendalam tentangnya. Atau mungkin itu hanya imajinasiku. Imajinasi seorang kriminal yang merasa korbannya masih terus menderita.

Setiap kali mendengar suaranya, aku teringat pada tantangannya. "Beri gue satu alasan."

Lihat selengkapnya