Hidupku sekarang punya pola baru. Pola yang membosankan dan menyedihkan. Datang ke sekolah, diam, pulang. Aku seperti robot yang baterainya hampir habis. Hanya cukup untuk menjalankan fungsi-fungsi dasar. Tidak ada lagi energi untuk bercanda, untuk iseng, atau bahkan untuk sekadar tersenyum.
Dulu aku Farel. Sekarang aku hanya jasadnya. Arwahku masih gentayangan di kantin, di warung belakang sekolah, mencari sisa-sisa kebahagiaan yang pernah ada di sana. Tapi jasadku, jasadku hanya duduk diam di pojok kelas.
Keheningan menjadi temanku sekarang. Keheningan saat aku berjalan sendirian di koridor. Keheningan di meja kantin, karena teman-temanku sekarang canggung untuk memulai obrolan denganku. Keheningan di kamarku di malam hari. Aku mulai terbiasa.
Dulu aku benci sunyi. Sekarang aku lebih benci lagi keramaian. Keramaian hanya mengingatkanku pada suaraku yang hilang.
Di tengah kehidupanku yang seperti siaran televisi rusak ini, ada satu orang yang sepertinya memperhatikan. Seseorang yang seharusnya tidak peduli.
Bu Marni. Guru Bahasa Indonesiaku.
Kejadiannya hari Selasa sore, setelah bel pulang berbunyi. Aku tidak langsung pulang. Aku tidak punya tujuan. Pulang ke rumah hanya akan bertemu dengan keheningan yang lain. Jadi aku hanya duduk di bangkuku, menatap lapangan basket yang kosong lewat jendela.
Murid-murid lain sudah berhamburan keluar. Kelas menjadi sepi. Hanya tersisa aku dan Bu Marni yang sedang membereskan buku-bukunya di meja guru.
"Farel."
Aku menoleh. Aku pikir beliau akan menegurku karena belum pulang.
"Kamu tunggu sebentar," katanya. "Ada yang mau Ibu bicarakan."
Aku hanya mengangguk. Perasaanku langsung tidak enak. Pasti ada peraturan baru yang kulanggar tanpa kusadari. Mungkin sekarang dilarang menatap lapangan basket dengan tatapan terlalu kosong. Mungkin itu dianggap sebagai tindakan subversif.
Setelah kelas benar-benar kosong, Bu Marni berjalan menghampiri mejaku. Beliau tidak berdiri. Beliau menarik kursi dari meja di depanku dan duduk berhadapan denganku. Ini situasi yang aneh. Guru dan murid duduk berhadapan seperti dua orang teman lama.
"Kamu jadi lebih pendiam sekarang, Farel," katanya, memulai percakapan. Nadanya bukan menuduh. Hanya terdengar memastikan.
"Lagi hemat suara, Bu," jawabku sekenanya. Itu adalah lelucon pertamaku dalam lebih dari dua minggu terakhir. Rasanya aneh. Seperti otot yang sudah lama tidak dipakai.
Bu Marni tersenyum tipis. "Suaramu terlalu berharga untuk dihemat, Rel."
Aku diam. Aku tidak mengerti arah pembicaraan ini.
"Ibu pernah baca beberapa tulisanmu," lanjutnya. "Yang tidak sengaja tertinggal di laci. Yang bukan tugas sekolah."
Jantungku berhenti berdetak sejenak. Tulisan-tulisanku? Draf-draf alasanku untuk Kayla? Apakah beliau tahu?
Seolah bisa membaca pikiranku, beliau menambahkan, "Bukan tulisan yang itu. Jauh sebelum itu. Tulisan-tulisan pendek di belakang buku catatanmu. Tentang hujan. Tentang stasiun kereta. Tentang bakwan."