Ada rutinitas baru dalam hidupku yang penuh dengan keheningan. Setiap sore, setelah bel pulang berbunyi dan setelah aku memastikan Kayla sudah benar-benar pergi, aku akan berjalan ke tempat sampah di depan kelas. Aku akan mengambil kembali brosur lomba menulis yang kemarin kuremas dan kubuang. Aku akan merapikannya, meluruskan lipatan-lipatannya, lalu menatapnya selama beberapa menit. Setelah itu, aku akan meremasnya lagi, dan membuangnya kembali ke tempat sampah.
Aku melakukannya setiap hari.
Itu adalah ritual penyiksaan diriku sendiri. Aku mengambil kesempatan, lalu membuangnya. Berulang kali. Seolah ingin mengingatkan diriku sendiri bahwa aku tidak pantas. Bahwa tempatku ada di dasar jurang, bukan di atas panggung pemenang.
Katanya hidup itu pilihan. Aku sudah memilih. Aku memilih untuk tidak memilih apa-apa. Aku memilih untuk tetap menjadi hantu, menjadi penyesalan yang berjalan. Pilihan yang aneh, tapi terasa paling adil saat itu.
Hari itu, aku sedang menjalankan hukumanku. Jam istirahat. Aku tidak ke kantin. Aku tidak ke warung. Aku pergi ke tempat persembunyian baruku: taman belakang di dekat perpustakaan. Tempat itu sepi. Hanya ada beberapa pohon tua dan bangku-bangku kosong yang catnya sudah mengelupas. Tidak ada yang mau ke sini. Terlalu sunyi. Sempurna untukku.
Aku duduk di bangku paling ujung, di bawah pohon beringin yang rindang. Aku hanya duduk diam. Menatap semut-semut yang berbaris rapi di tanah. Mereka sepertinya punya tujuan yang jelas. Aku iri pada mereka.
Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki.
Aku langsung sedikit waspada. Aku tidak ingin bertemu siapa-siapa. Aku ingin sendirian dengan penderitaanku. Aku sedikit mencondongkan tubuh, mengintip dari balik batang pohon yang besar.
Itu dia. Kayla.
Jantungku langsung berdebar tidak karuan. Kenapa dia ada di sini? Tempat ini bukan habitatnya. Habitatnya di perpustakaan yang dingin dan ruang kelas yang penuh persaingan.
Dia tidak melihatku. Dia berjalan ke sisi lain taman, dekat tembok tua yang ditumbuhi lumut. Dia tampak gelisah. Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya. Dia sepertinya akan menelepon seseorang.
Insting pertamaku adalah pergi. Segera. Ini urusan pribadi. Aku tidak punya hak untuk ada di sini. Aku tidak punya hak untuk mendengar.
Tapi kakiku tidak bergerak. Aku seperti membeku di tempat. Ada bagian dari diriku, bagian peneliti yang sudah lama tidak aktif, yang tiba-tiba terbangun dan berteriak, "Diam di tempat! Ini data penting!"
Jadi aku diam. Aku benci diriku sendiri karena melakukannya, tapi aku tetap diam. Pergi itu butuh gerakan. Diam tidak butuh apa-apa. Jadi aku memilih yang lebih mudah.
Aku melihatnya menempelkan ponsel ke telinganya. Dia mulai berbicara. Suaranya pelan sekali, hampir seperti bisikan. Aku harus menajamkan telingaku untuk bisa menangkap kata-katanya.
"Halo, Bu..."
Dia sedang menelepon ibunya.
"Iya, Bu... aku tahu... aku sudah lihat hasilnya."
Dia diam sejenak, mendengarkan. Wajahnya tegang.
"Tapi biayanya dari mana, Bu? Uangnya besar sekali."
Biaya? Biaya apa?