32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #26

DI AMBANG KEPUTUSASAAN

Setelah mengirim cerpen itu lewat email Bu Marni, hidupku memasuki fase baru. Fase menunggu.

Menunggu itu ada banyak levelnya. Menunggu balasan chat dari gebetan itu level satu, bikin sedikit cemas. Menunggu giliran maju presentasi di depan kelas itu level lima, bikin perut mulas. Menunggu pengumuman kelulusan itu mungkin level sepuluh, bikin mau pingsan.

Tapi menunggu hasil lomba yang nasibnya bukan hanya untuk dirimu sendiri, melainkan untuk orang lain? Itu level seratus. Tidak ada di buku panduan. Rasanya seperti menahan napas di dalam air, tapi kau tidak tahu kapan boleh kembali ke permukaan. Bikin sesak.

Aku sudah melakukan bagianku. Aku sudah memakai "pisau"-ku untuk mencoba mengupas buah. Sekarang, aku hanya bisa menunggu kabar dari juri. Orang-orang asing yang tidak kukenal, yang akan menentukan apakah buah hasil kupasanku itu cukup manis untuk dinilai.

Sambil menunggu, aku kembali menjadi pengamat. Tapi sekarang, aku mengamati dengan tujuan yang berbeda. Aku bukan lagi peneliti yang mencari data untuk tulisan. Aku seperti seorang penjaga mercusuar yang cemas, mengawasi kapal dari kejauhan, berharap kapal itu tidak tenggelam sebelum bantuan datang.

Dan kapal itu, kapal bernama Kayla, terlihat sudah hampir karam.

Perubahannya tidak drastis. Tapi aku, sebagai satu-satunya "Kayla-logist" bersertifikat di sekolah ini, bisa melihatnya dengan jelas. Tanda-tandanya kecil, tapi nyata.

Yang pertama, aku melihatnya di kelas. Saat pelajaran Sosiologi, Bu Ida melemparkan pertanyaan tentang dampak globalisasi pada budaya lokal. Pertanyaan yang mudah untuk Kayla. Makanan sehari-harinya. Biasanya, tangannya akan langsung teracung ke udara bahkan sebelum Bu Ida selesai bertanya.

Tapi hari itu, dia hanya diam.

Dia duduk di bangkunya, menatap lurus ke papan tulis, tapi aku tahu pikirannya tidak ada di sana. Tatapannya kosong.

"Kayla, mungkin mau mencoba menjawab?" tanya Bu Ida, mungkin heran karena tidak melihat reaksi seperti biasanya.

Seluruh kelas menoleh padanya. Hening sejenak. Kayla seperti baru tersadar dari lamunan panjang. Dia mengerjap beberapa kali.

"Maaf, Bu," katanya pelan. "Saya... saya kurang fokus."

Jawaban itu membuat seisi kelas terkejut. Kayla Adisti tidak fokus? Itu sama anehnya dengan melihat Ojan tiba-tiba rajin mengerjakan PR. Sesuatu yang sangat salah sedang terjadi.

Aku melihat Siva di sebelahnya menatapnya dengan pandangan khawatir. Kayla hanya menggeleng pelan, seolah berkata "aku-tidak-apa-apa", nampak seperti kebohongan yang bisa kulihat bahkan dari barisanku yang paling belakang.

Lalu aku melihatnya di perpustakaan. Tempat itu adalah kerajaannya. Biasanya, dia akan duduk di sana, dikelilingi tumpukan buku tebal, membaca dengan konsentrasi penuh. Tapi sore itu, aku melihatnya dari kejauhan. Dia memang duduk di depan sebuah buku yang terbuka. Tapi selama sepuluh menit aku memperhatikannya, dia tidak membalik satu halaman pun. Dia hanya menatap kalimat-kalimat di buku itu, tanpa membacanya.

Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat lebih jelas di bawah lampu perpustakaan yang terang. Dia tampak sangat lelah. Bukan lelah karena belajar. Tapi lelah karena menanggung beban.

Tapi perubahan yang paling menghancurkanku, yang paling membuat tekadku menjadi sekeras baja, terjadi kemarin sore.

Aku sedang berjalan di koridor yang sepi menuju ruang guru, mau bertanya pada Bu Marni untuk yang kesekian kalinya apakah sudah ada kabar soal lomba. Tentu saja belum ada. Aku hanya butuh alasan untuk merasa sedikit berguna.

Saat aku berbelok di tikungan, aku hampir bertabrakan dengannya. Dengan Kayla.

Jarak kami hanya sekitar satu meter. Kami berdua berhenti. Jantungku langsung terasa seperti mau melompat keluar. Ini adalah interaksi paling dekat kami sejak insiden di kantin.

Lihat selengkapnya