32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #27

PENGUMUMAN PEMENANG

Hari pengumuman itu akhirnya datang.

Aku tahu tanggalnya dari brosur yang sekarang sudah sekusut dan selecek hatiku. Tanggal yang kulingkari dengan pulpen merah, seolah itu adalah tanggal ujian akhir penentu kelulusan. Mungkin memang begitu.

Pagi itu, aku bangun dengan perasaan aneh di perutku. Rasanya seperti diisi oleh sekumpulan pembuat onar yang sedang rapat, tapi tidak menemukan kata sepakat. Berisik, ricuh, dan tidak jelas maunya apa. Aku tidak sarapan. Aku tidak yakin lambungku bisa menerima apa pun selain kecemasan.

Di sekolah, aku menjalani hari seperti zombi. Aku duduk, aku mendengarkan, aku menulis saat disuruh menulis. Tapi pikiranku tidak ada di sana. Pikiranku ada di sebuah situs web, di sebuah halaman pengumuman yang belum dipublikasikan. Setiap kali ada pengumuman dari speaker di ruang guru, jantungku berhenti berdetak sejenak. Setiap kali ponselku bergetar, aku berharap itu adalah pesan dari Bu Marni.

Aku terus mengamati Kayla. Hari ini, dia terlihat lebih pucat dari biasanya. Dia lebih banyak diam, bahkan Siva pun sepertinya kesulitan untuk mengajaknya bicara. Melihatnya seperti itu membuat perutku semakin melilit. Dia menjadi alasan kenapa hari ini terasa begitu berat. Dia adalah bebanku, sekaligus satu-satunya tujuanku.

Waktu berjalan merayap. Setiap detik terasa seperti satu jam. Aku merasa seperti sedang menjalani hukuman paling aneh di dunia: hukuman menunggu.

Akhirnya, bel pulang berbunyi.

Biasanya, itu adalah suara terindah di dunia. Tapi hari ini, menjadi sinyal dimulainya babak baru penyiksaanku. Pengumumannya akan dipublikasikan di situs web lomba tepat pukul tiga sore. Masih ada waktu satu jam.

Aku tidak pulang. Aku juga tidak ke warung. Aku pergi ke perpustakaan. Bukan untuk membaca. Aku hanya butuh tempat yang dingin dan sunyi untuk menunggu eksekusiku.

Aku duduk di sudut paling belakang, berpura-pura membaca buku tentang sejarah Candi Borobudur. Aku tidak membaca satu kata pun. Aku hanya menatap gambar stupa, tapi yang kulihat adalah wajah Kayla.

Tepat pukul tiga kurang lima menit, seseorang menepuk bahuku. Aku kaget.

"Sudah waktunya, Farel."

Itu Bu Marni. Beliau sepertinya tahu di mana harus mencariku. Aku hanya mengangguk pelan.

"Mau dicek sekarang?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng. "Saya nggak berani, Bu."

Beliau tersenyum. "Kalau begitu, kita cek sama-sama. Ayo, ke ruang komputer saja. Internet di sana lebih cepat."

Aku mengikuti beliau seperti anak kecil yang pasrah diajak ke dokter gigi. Ruang komputer sepi. Hanya ada kami berdua. Suara dengungan AC terdengar sangat keras.

Bu Marni duduk di depan salah satu komputer. Aku berdiri di belakangnya. Aku tidak berani duduk. Kakiku terlalu lemas.

"Situsnya apa, Rel?"

Aku memberitahunya. Tanganku berkeringat dingin.

Bu Marni mengetik alamat situs itu dengan tenang. Halaman depannya muncul. Ada spanduk besar bertuliskan: "SELAMAT KEPADA PARA PEMENANG!"

Jantungku terasa seperti mau pindah ke tenggorokan.

"Kita lihat, ya," kata Bu Marni.

Lihat selengkapnya