32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #28

DONATUR ANONIM

Menjadi orang jahat itu ternyata mudah. Kau tinggal berbuat jahat, lalu minta maaf, atau tidak sama sekali. Selesai.

Tapi menjadi orang baik? Ternyata rumit. Sangat rumit. Ada aturannya. Ada prosedurnya. Ada rasa cemas yang tidak ada di buku panduan.

Sudah dua hari sejak aku memenangkan lomba itu. Dua hari yang terasa seperti dua dekade. Aku punya solusinya. Aku punya "obat"-nya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara memberikannya. Masalahnya, obat ini rasanya pahit jika diminum di depan umum. Dan aku tidak mau dia merasakan pahit lagi karena aku.

Aku memikirkan semua kemungkinan.

Kemungkinan pertama: aku datang langsung padanya, memberikan amplop berisi uang, lalu berkata, "Ini, buat tambahan biaya." Hasilnya? Aku mungkin akan pulang dengan bekas tamparan di pipi dan harga diri yang hancur. Ditolak.

Kemungkinan kedua: aku memasukkannya diam-diam ke dalam tasnya. Hasilnya? Dia akan panik, mengira itu uang haram, lalu melaporkannya ke guru BP. Aku akan dipanggil, diinterogasi, dan akhirnya ketahuan. Bencana.

Kemungkinan ketiga: aku mengirimnya lewat pos ke rumahnya. Hasilnya? Ibunya akan bertanya-tanya, dan dia akan semakin tertekan karena harus menjelaskan dari mana datangnya uang misterius itu. Gagal.

Semua jalanku buntu. Aku merasa seperti punya kunci, tapi kuncinya tidak cocok untuk pintu mana pun.

Aku butuh bantuan. Aku butuh seorang ahli. Seseorang yang mengerti seluk-beluk birokrasi dan punya akses ke jalan-jalan rahasia. Aku hanya tahu satu orang yang memenuhi kriteria itu.

Bu Marni.

Aku menemuinya keesokan harinya di ruang guru saat istirahat. Beliau sedang memeriksa ulangan sambil minum teh hangat. Aku menghampirinya dengan gugup.

"Permisi, Bu," kataku pelan.

Beliau menatapku sambil tersenyum. "Farel. Ada apa? Mau tanya soal hadiahnya, ya? Biasanya cair sekitar seminggu lagi."

"Iya, Bu. Soal itu," kataku. "Saya mau tanya sesuatu."

"Tanya saja."

"Hadiah lombanya itu... bisa ditransfer, kan, Bu?"

"Bisa, tentu saja. Nanti panitianya akan minta nomor rekeningmu."

Inilah bagian yang sulit. Aku menarik napas. "Begini, Bu. Bisa nggak... ditransfernya jangan ke rekening saya?"

Bu Marni berhenti memeriksa ulangan. Beliau menatapku dengan kening berkerut. "Maksudmu?"

"Saya... saya mau hadiah itu disumbangkan, Bu," kataku, mencoba terdengar seyakin mungkin.

"Disumbangkan? Untuk siapa?"

Aku tidak mungkin menyebut nama Kayla. Itu akan melanggar kode etik penelitian rahasiaku. "Untuk... untuk salah satu siswi di sekolah kita, Bu. Saya dengar keluarganya sedang butuh bantuan. Sangat butuh. Untuk biaya pengobatan."

Lihat selengkapnya