Dia berdiri di depanku. Kayla. Di tamanku. Di tempat persembunyianku.
Langit sore itu berwarna jingga. Warna yang bagus untuk sebuah akhir dunia. Duniaku, maksudnya.
Aku hanya bisa menatapnya. Otakku, yang biasanya selalu punya komentar untuk segala hal, tiba-tiba mogok kerja. Kosong. Tidak ada lelucon. Tidak ada filosofi aneh. Hanya ada rasa takut yang murni dan dingin.
Aku sudah siap. Aku sudah menyiapkan diriku untuk semua kemungkinan terburuk.
Skenario pertama: dia akan memakiku. Dia akan mengeluarkan semua amarah yang selama ini ia pendam. Dia akan menyebutku pembohong, pengecut, pengganggu. Bagus. Aku memang pantas mendapatkannya.
Skenario kedua: dia akan menamparku. Tangan kanannya akan melayang dan mendarat di pipi kiriku. Juga bagus. Pipiku sudah lama tidak olahraga. Hukuman fisik kadang lebih mudah diterima daripada hukuman batin.
Skenario ketiga: dia akan menangis. Dia akan menunjukkan betapa sakit hatinya aku. Ini skenario terburuk. Aku tidak akan sanggup melihatnya. Aku lebih baik ditampar seratus kali daripada harus melihatnya menangis karena aku.
Aku menunggu. Pasrah. Silakan pilih hukumanku, hakim ketua.
Tapi dia tidak melakukan satu pun dari skenario itu.
Dia hanya menatapku selama beberapa saat. Tatapannya adalah tatapan yang paling rumit yang pernah kulihat. Bukan lagi tatapan marah atau kecewa. Tatapan ini... aku tidak tahu namanya. Tatapan seseorang yang baru saja selesai membaca sebuah buku yang sangat tebal dan membingungkan, dan sekarang sedang mencoba memahami akhir ceritanya.
Lalu, dia melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada di dalam naskah dugaanku.
Dia berjalan melewatiku.
Lalu dia duduk di bangku. Di sebelahku.
Tidak terlalu dekat, tapi juga tidak jauh. Ada jarak sekitar tiga puluh senti di antara kami. Jarak yang terasa seperti jurang, tapi juga seperti sebuah jembatan yang baru mulai dibangun.
Aku benar-benar bingung sekarang. Ini prosedur macam apa? Terdakwa dan hakim tidak seharusnya duduk bersebelahan saat sidang. Ini melanggar tata tertib pengadilan.
Kami hanya duduk di sana. Dalam diam.
Keheningan ini berbeda. Bukan keheningan canggung saat kami mengerjakan tugas kelompok. Bukan juga keheningan dingin saat kami berpapasan di koridor. Keheningan ini... berat. Penuh. Seolah-olah udara di antara kami dipenuhi oleh semua kata yang pernah kutulis, semua perasaan yang pernah kurasakan, dan semua rasa sakit yang pernah ia tanggung.
Aku bisa mendengar suara angin yang meniup daun-daun kering. Aku bisa mendengar suara bel sekolah yang berbunyi di kejauhan, tanda pelajaran tambahan sudah selesai. Aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri yang bunyinya sudah seperti genderang mau perang.
Aku harus mengatakan sesuatu. Aku harus memecah keheningan ini.
"Kay..." aku memulai, suaraku terdengar seperti suara orang lain.
Dia menoleh sedikit. Tapi sebelum aku bisa melanjutkan, dia mengangkat tangannya. Sebuah isyarat "tunggu".
Lalu dia membuka ritsleting tasnya.
Aku kembali tegang. Apa yang akan dia keluarkan? Apakah dia akan mengeluarkan semua suratku yang sudah diremas dan melemparkannya lagi padaku? Apakah dia akan mengeluarkan buku paket Fisika dan memukulkannya ke kepalaku?
Dia mengeluarkan dua botol air mineral. Yang dingin. Masih ada embun di luarnya.
Dia membuka tutup salah satu botol, lalu meminumnya sedikit. Kemudian, dia menyodorkan botol yang satunya lagi padaku.
"Nih," katanya. Hanya itu.