Aku baru saja mengucapkan kata "Maaf".
Dua suku kata yang terasa butuh kekuatan seluruh alam semesta untuk bisa keluar dari mulutku. Setelah kata itu terucap, aku pikir dia akan pergi. Aku pikir urusan kami sudah selesai. Dia sudah memberiku air mineral sebagai tanda gencatan senjata, dan aku sudah memberikan permintaan maaf sebagai tanda menyerah. Selesai.
Tapi dia tidak pergi.
Dia hanya mengangguk kecil, lalu kembali menatap lurus ke depan. Ke arah lapangan basket yang kosong. Dia kembali duduk, seolah-olah percakapan kami belum selesai. Seolah-olah masih ada satu babak lagi.
Aku ikut duduk lagi. Aku bingung. Apa lagi sekarang? Apakah ada formulir pengampunan yang harus kutandatangani? Apakah ada materai yang perlu ditempel?
Kami kembali terdiam. Tapi keheningan kali ini berbeda lagi. Bukan keheningan canggung yang penuh pertanyaan. Bukan juga keheningan damai yang baru saja kurasakan. Keheningan ini... terasa seperti jeda. Jeda antara satu lagu dan lagu berikutnya. Jeda yang membuatmu penasaran, nada apa yang akan dimainkan selanjutnya.
Di dalam keheningan itu, pikiranku mulai berjalan. Berjalan mundur, menelusuri kembali semua jejak kebodohan yang telah kubuat.
Semuanya dimulai dari sebuah tawa di warung belakang sekolah. Dari sebuah taruhan konyol. Dari egoku yang tidak mau terlihat pengecut di depan teman-temanku. Lalu muncul surat pertama, yang isinya lebih banyak sarkasme daripada perasaan. Lalu aku mulai mengamatinya. Aku melihatnya memberi makan kucing. Aku melihatnya merawat tanaman. Aku melihatnya bekerja di pasar malam.
Dulu aku menulis karena disuruh.
Lalu aku menulis karena penasaran.
Lalu aku menulis karena kagum.
Lalu aku menulis karena rasa bersalah.
Dan terakhir, aku menulis karena sebuah harapan yang bukan milikku.
Aku tidak pernah benar-benar menulis hanya karena ingin menulis. Tujuanku selalu dia. Mengetahui reaksinya adalah candu baruku. Melihatnya menyimpan suratku adalah kemenanganku. Dan melihatnya hancur di kantin, adalah kekalahanku yang paling telak.
Aku teringat lagi pada tantangannya. "Beri gue satu alasan."
Aku tidak bisa menjawabnya waktu itu. Karena aku sadar, semua kata-kataku sudah cacat sejak lahir. Mereka lahir dari sebuah niat yang tidak murni. Sejujur apa pun isi surat-suratku pada akhirnya, mereka tetaplah anak haram dari sebuah taruhan.
Jadi aku berhenti memakai kata-kata. Aku mencoba cara lain. Aku mencoba memakai tindakan. Tindakan yang kulakukan diam-diam. Tindakan yang tidak butuh pujian. Tindakan yang kulakukan hanya karena aku merasa harus.
Dan sekarang, di sinilah aku. Duduk di sebelahnya. Menunggu vonis akhir.
Aku merasa harus mengatakan sesuatu lagi. Kata "maaf" tadi terasa terlalu singkat. Terlalu murah untuk semua kerusakan yang telah kusebabkan.