Katanya, hari kelulusan itu juga hari kemenangan. Hari di mana kita merayakan keberhasilan setelah tiga tahun berjuang melawan rumus, hafalan, dan rasa kantuk di pagi hari.
Bagiku, hari ini lebih terasa seperti hari perpisahan. Aneh sekali. Manusia itu aneh. Kita merayakan perpisahan besar-besaran, lengkap dengan toga, pidato, dan foto bersama orang-orang yang mungkin tidak akan pernah kita temui lagi.
Pagi itu, aku berdiri di depan cermin. Aku memakai seragam putih abu-abu untuk terakhir kalinya. Seragam yang sama yang menjadi saksi bisu dari semua kebodohan dan sedikit kebaikanku. Rasanya berbeda. Tidak lagi seperti seragam, tapi lebih seperti kostum peninggalan sejarah.
Di meja belajarku, tergeletak benda kecil. Buku catatan. Ukurannya hanya segenggaman tangan. Sampulnya cokelat polos, tanpa gambar. Aku membelinya kemarin di toko buku kecil dekat pasar. Harganya murah, tapi rasanya berat. Karena di dalamnya, ada misiku yang terakhir.
Aku membukanya. Di halaman pertama yang putih bersih, aku sudah menuliskan satu kalimat tadi malam. Hanya satu kalimat. Kalimat yang kupikirkan selama berhari-hari. Kalimat yang akan menjadi penutup sekaligus pembuka.
Aku menutup kembali buku itu dan memasukkannya ke saku celana. Rasanya seperti kembali ke hari-hari pertama Misi 32. Ada sebuah rahasia kecil di sakuku, dan aku gugup setengah mati.
Upacara kelulusan diadakan di aula sekolah. Tempat yang sama di mana aku pernah diam-diam menontonnya berpidato. Hari ini, tempat itu terasa berbeda. Lebih ramai, lebih panas, dan penuh dengan aroma parfum orang tua murid yang saling bercampur.
Aku duduk di barisan paling belakang, bersama Ojan dan yang lain. Kami tidak banyak bicara. Kami hanya saling menyenggol lengan, menertawakan hal-hal kecil, cara kami untuk menutupi rasa sedih karena tahu ini adalah kali terakhir kami duduk bersama sebagai satu kelompok.
Kepala sekolah mulai berpidato. Panjang sekali. Tentang meraih bintang, tentang menjadi agen perubahan, tentang jangan pernah melupakan almamater. Aku tidak terlalu mendengarkan. Aku tidak mau meraih bintang. Jauh sekali. Aku hanya mau memastikan misiku hari ini berhasil.
Mataku menyapu barisan siswi di seberang sana. Aku mencarinya. Dan aku menemukannya. Kayla. Dia duduk tegak, seperti biasa. Tapi hari ini, dia tidak terlihat galak. Dia hanya terlihat... dewasa. Dia duduk di antara orang tuanya. Aku melihat ayahnya, yang tampak lebih sehat, tersenyum bangga padanya. Ibunya mengusap bahunya dengan lembut.
Melihat pemandangan itu, hatiku terasa hangat. Misi rahasiaku beberapa bulan yang lalu, ternyata hasilnya seindah ini.
Lalu acara puncak dimulai. Pembagian map ijazah. Nama kami dipanggil satu per satu, sesuai abjad.
"Farel Adiputra."
Namaku disebut. Aku berjalan ke atas panggung. Rasanya aneh. Selama tiga tahun, namaku lebih sering disebut oleh guru BP daripada oleh pembawa acara di panggung terhormat. Aku menerima map ijazah dari kepala sekolah, menjabat tangannya, lalu turun. Selesai. Tiga tahun penderitaanku terangkum dalam map berwarna biru.
Aku kembali ke tempat dudukku. Ojan menepuk punggungku. "Selamat, bro. Akhirnya lo lulus juga."
"Sama-sama," jawabku.
Aku kembali menatap panggung. Aku menunggu. Beberapa nama lagi. Lalu…
"Kayla Adisti."
Namanya disebut. Dia salah satu lulusan terbaik. Tepuk tangan paling meriah terdengar di seluruh aula. Dia berjalan ke atas panggung dengan langkahnya yang anggun dan percaya diri. Dia tidak terlihat gugup sama sekali.
Dia menerima ijazahnya, beberapa penghargaan, lalu berfoto bersama kepala sekolah. Dia tersenyum ke arah kamera. Senyum yang lebar dan tulus. Senyum seorang pemenang.