Kamu tidak pernah tahu soal taman itu, kan, Farel?
Tentu saja tidak. Tempat itu bukan duniamu. Duniamu adalah warung belakang sekolah yang berisik, kantin yang riuh, dan lapangan basket yang penuh tawa. Taman belakang di dekat perpustakaan ini berbeda. Dia adalah titik buta di peta sekolah kita. Terlupakan, sunyi, dan sedikit melankolis. Tempat yang sempurna untuk seseorang yang ingin menghilang sejenak.
Saat itu, aku butuh menghilang.
Aku berjalan ke sana bukan tanpa alasan. Aku mencari satu-satunya tempat di sekolah ini yang tidak memiliki mata dan telinga. Aku butuh ruang vakum, tempat di mana aku bisa mendengar detak jantungku sendiri yang bunyinya sudah seperti genderang perang, sebelum aku membuat satu panggilan telepon yang sudah kutunda selama di kelas. Satu panggilan yang aku tahu akan menjadi vonis.
Kamu pikir bebanku saat itu hanyalah tentang taruhan bodohmu, kan? Tentang puluhan surat yang mendarat di laciku seperti teka-teki yang menjengkelkan sekaligus menarik. Tentang bagaimana rasanya dipermalukan di depan seluruh kantin. Ya, itu berat. Rasanya seperti salah satu lapisan bentengku retak dan semua orang bisa mengintip ke dalamnya.
Tapi, Farel, saat itu kamu hanya melihat retakan di dinding. Kamu tidak pernah tahu kalau fondasi benteng itu sudah lama goyah, digerogoti oleh kecemasan yang jauh lebih besar dan lebih senyap.
Fondasi itu bernama Ayah.
Ayah adalah pahlawanku, Farel. Laki-laki paling pendiam dengan senyum paling hangat. Punggungnya adalah tempat paling aman di dunia waktu aku kecil. Tapi punggung itu, rangka yang menopang duniaku itu, perlahan-lahan digerogoti karat. Kau tidak tahu soal malam-malam di mana aku harus belajar sambil mendengarkan batuknya yang tak kunjung henti dari kamar sebelah. Kau tidak tahu tentang bolak-balik ke rumah sakit yang membuat tabungan Ibu terkuras pelan-pelan, seperti pasir yang lolos dari genggaman.
Aku membangun bentengku di sekolah karena di sanalah satu-satunya tempat aku bisa mengendalikan sesuatu. Aku tidak bisa mengendalikan penyakit Ayah. Aku tidak bisa mengendalikan saldo di rekening Ibu. Tapi aku bisa mengendalikan nilaiku. Nilai 100 adalah satu-satunya kepastian di tengah lautan ketidakpastian. Kerapian catatanku adalah caraku berperang melawan kekacauan di rumah. Menjadi si perfeksionis, si Ratu Es, adalah caraku untuk bertahan. Aku tidak punya energi untuk menjadi yang lain. Aku tidak punya waktu untuk drama.
Lalu kau datang dengan taruhanmu. Dengan surat-suratmu. Sebuah anomali yang tidak ada dalam rumusan hidupku. Sebuah gangguan. Tapi kemudian, gangguan itu berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuatku bertanya-tanya, membuatku—untuk pertama kalinya—sedikit berharap ada yang melihatku di balik semua rumus dan kerapian ini.
Lalu kau hancurkan harapan itu di kantin. Dan tepat saat aku sedang berusaha menambal kembali retakan yang kau buat, kabar dari rumah sakit datang. Kabar yang puncaknya harus kudengar lewat telepon hari ini, di taman yang sepi ini.
Aku bersandar di tembok tua yang ditumbuhi lumut, merasakan dinginnya meresap ke punggungku. Aku menekan nomor Ibu. Jantungku berdebar sangat kencang, aku takut suaranya akan bocor melalui telepon.
"Halo, Bu..." suaraku terdengar lebih tenang dari yang kurasakan. Sebuah keahlian yang sudah kulatih selama bertahun-tahun.
Di seberang sana, suara Ibu terdengar lelah. Kami bertukar basa-basi singkat yang terasa hampa. Lalu, aku tahu, inilah saatnya.
"Iya, Bu... aku tahu... aku sudah lihat hasil lab yang Ayah kirim fotonya tadi malam."
Aku diam, mendengarkan penjelasan Ibu yang coba ia sampaikan dengan setegar mungkin. Tapi aku bisa mendengar getaran dalam suaranya. Getaran yang sama yang sedang menjalari seluruh tubuhku.