32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #29

PETUNJUK DARI SEORANG DETEKTIF

Dua minggu setelah langit di atasku nyaris runtuh, keajaiban datang. Kamu tidak akan pernah tahu, Farel, bagaimana rasanya menerima telepon dari Ibu, dan kali ini suaranya tidak lagi bergetar karena cemas, tapi karena haru. Beliau bilang, ada donasi masuk ke rekeningnya. Donasi anonim dari pihak sekolah. Jumlahnya sangat besar. Cukup. Lebih dari cukup untuk membiayai operasi Ayah.

Saat itu, aku hanya bisa terduduk di lantai kamarku. Aku tidak menangis. Aku hanya menatap dinding dengan tatapan kosong, sementara perasaan lega yang begitu dahsyat, yang belum pernah kurasakan seumur hidupku, menyelimutiku seperti sehelai selimut paling hangat di dunia. Beban yang selama ini menekan dadaku hingga sesak, terangkat begitu saja. Aku bisa bernapas lagi. Aku bersujud syukur di atas lantai yang dingin itu, berterima kasih pada Tuhan, pada semesta, pada malaikat tanpa nama yang telah dikirimkan untuk keluargaku.

Aku pikir, itulah akhir dari babak kelam itu. Aku bisa kembali fokus. Aku bisa kembali menata duniaku yang porak-poranda. Aku bisa tersenyum lagi tanpa kepura-puraan. Dan aku melakukannya. Selama beberapa hari, aku merasa ringan. Aku bahkan bisa tertawa lepas saat Siva menceritakan lelucon payah di kantin. Aku merasa seperti diriku yang dulu, sebelum semuanya menjadi rumit.

Tapi aku lupa satu hal. Aku punya sahabat bernama Siva. Dan Siva, tidak pernah bisa membiarkan sebuah teka-teki tidak terpecahkan.

"Kay, ini aneh," katanya suatu sore saat kami berjalan pulang.

"Apanya yang aneh, Siv? Semuanya baik-baik saja," jawabku, masih terbuai dalam kelegaan.

"Justru itu!" serunya. "Semuanya terlalu baik-baik saja. Uang sebesar itu, datang tiba-tiba, tanpa nama? Sekolah kita memang bagus, tapi aku tidak pernah dengar ada program donasi sebesar ini untuk perorangan. Ini bukan beasiswa. Ini keajaiban. Dan aku tidak percaya pada keajaiban yang tidak punya penjelasan logis."

Aku hanya tertawa. "Siv, kamu terlalu banyak nonton film detektif. Terima saja kenyataannya. Ada orang baik di dunia ini. Selesai."

Tapi Siva tidak selesai. Dia menatapku dengan tatapan seriusnya yang langka, yang biasanya hanya ia keluarkan saat memilih warna lipstik. "Aku akan cari tahu," katanya. "Aku harus tahu siapa malaikatmu itu."

Saat itu, aku tidak menganggapnya serius. Aku pikir itu hanya rasa penasaran sesaatnya. Aku salah. Siva, jika sudah punya misi, akan lebih gigih dari detektif mana pun. Dan misinya saat itu adalah membongkar misteri yang bahkan tidak kusadari keberadaannya.

Penyelidikannya dimulai dengan cara yang tidak kuduga. Kamu, Farel. Kamu menjadi tersangka utamanya.

"Kay, aku lihat Farel ngobrol serius sama Bu Marni beberapa kali," lapornya padaku beberapa hari kemudian. Kami sedang di perpustakaan, tempat yang menjadi markas investigasinya.

Aku mengerutkan kening. "Terus kenapa? Mungkin dia mau konsultasi soal nilai Bahasa Indonesianya yang selalu di ambang batas."

"Bukan!" bantah Siva cepat. "Tatapan mereka beda. Bukan seperti guru dan murid. Lebih seperti... konspirator. Dan ini terjadi setelah insiden di kantin. Setelah Farel jadi pendiam. Aku merasa ada hubungannya."

"Hubungannya apa, Siv? Dia merasa bersalah lalu mendoakanku? Yang benar saja," kataku, masih mencoba menepis teorinya yang terdengar absurd. Farel Adiputra, si biang kerok, si pembohong, adalah malaikatku? Imajinasi Siva benar-benar sudah terlalu liar. Itu seperti mencoba menyatukan kutub utara dan gurun sahara. Tidak mungkin.

Tapi Siva tidak menyerah. Dia membawaku pada petunjuk berikutnya. Petunjuk yang ia dapatkan dengan kenekatan yang luar biasa.

"Aku tanya Bu Marni," bisiknya padaku keesokan harinya, menarikku ke sudut koridor yang sepi.

"Kamu tanya apa?"

"Aku tanya, 'Bu, Farel itu kenapa ya sekarang jadi pendiam? Apa ada masalah?'. Tentu saja aku pura-pura peduli," katanya sambil memutar bola matanya. "Lalu Bu Marni hanya tersenyum. Senyum yang aneh, Kay. Senyum yang seolah menyimpan rahasia negara."

"Lalu aku pura-pura bodoh," lanjutnya. "'Oh, atau jangan-jangan dia lagi sibuk ikut lomba ya, Bu? Lomba menulis atau apa gitu?'. Dan kau tahu apa reaksi Bu Marni? Senyumnya makin lebar. Dia tidak menjawab iya atau tidak. Dia hanya bilang, 'Farel itu anak yang punya banyak kejutan, Siva. Kadang, kejutan terbaik datang dari tempat yang paling tidak kita duga.' Itu sebuah konfirmasi, Kay! Itu jawaban 'iya' dalam bahasa guru!"

Lihat selengkapnya