32 HAL TENTANG KAMU

IGN Indra
Chapter #10

DI BALIK BENTENG

Pintu rumahku tidak memiliki bel. Ia hanya punya engsel yang berderit dengan nada yang sangat kukenal. Suara pertama yang menyambutku setiap pulang sekolah, pengingat bahwa aku sudah tiba di satu-satunya tempat di dunia di mana aku diizinkan untuk tidak menjadi kuat.

Aku melangkah masuk. Aroma minyak kayu putih dan masakan Ibu yang sudah dingin menyapaku. Aku meletakkan tas di dekat pintu, lalu melepaskan sepatu dengan gerakan yang terasa seribu kali lebih lambat dari pikiranku. Di sekolah, aku bagai mesin. Bergerak cepat, berpikir cepat, menjawab cepat. Di sini, aku hanyalah seorang anak perempuan yang energinya sudah habis terkuras untuk berpura-pura sepanjang hari.

Benteng itu runtuh seketika saat aku melihat Ibu duduk di kursi ruang tengah, melipat tumpukan lap bersih untuk dibawa ke warung nanti malam. Wajahnya lelah. Garis-garis di sudut matanya terlihat lebih dalam di bawah cahaya lampu yang temaram.

"Sudah pulang, Kay?" sapanya, sambil tersenyum. Senyum yang sama lelahnya dengan wajahnya.

Aku hanya mengangguk, lalu menghampirinya dan mencium tangannya. "Ibu sudah makan?"

"Sudah tadi, sama Ayah. Kamu makan, gih. Lauknya Ibu sisihkan di meja," katanya.

Aku menggeleng. "Nanti saja, Bu. Aku mau lihat Ayah dulu."

Ibu tidak menjawab, hanya menatapku dengan pandangan yang penuh pengertian. Kami punya bahasa kami sendiri, bahasa yang tidak perlu banyak kata. Bahasa yang tercipta dari kelelahan yang sama dan harapan yang kami pikul bersama.

Aku berjalan menuju kamar di ujung lorong. Kamar Ayah. Aku berhenti sejenak di depan pintunya yang tertutup, menarik napas dalam-dalam, lalu memasang sebuah senyum. Senyum ini berbeda dengan senyum bekuku di sekolah. Senyuman yang kupaksakan agar terlihat hangat, agar terlihat bahwa semuanya baik-baik saja.

Aku mengetuk pelan, lalu membuka pintu. "Ayah..."

Ayah sedang berbaring, membaca koran bekas kemarin. Dia menoleh saat aku masuk, dan wajahnya langsung bersinar. "Eh, jagoan Ayah sudah pulang," katanya, suaranya sedikit serak. Dia mencoba untuk duduk, tapi batuk kering yang keras menahannya.

Aku bergegas menghampirinya, membantunya bersandar pada bantal. Aku mengusap punggungnya pelan sampai batuknya mereda. Aku benci suara batuk itu. Suara itu menjadi musuhku yang paling nyata, pengingat konstan akan karat yang sedang menggerogoti pahlawanku.

Lihat selengkapnya