365 Hari

9inestories
Chapter #4

Aku Mencintaimu, tapi...


*****


"Silahkan, Non, Den Bagas sudah menunggu di belakang."


"Iya mbok, terima kasih. Saya bisa sendiri dari sini."


Lara mengangguk ketika mbok Laksmi pamit undur diri. Ia kemudian bergegas ke area belakang villa untuk menemui Bagas. Pria itu mengajaknya bertemu di salah satu villa milik keluarga Hartono. Lara telah mendapat kabar dari Tri Teguh jika Bagas sudah menyetujui isi dari surat wasiat beserta dua persyaratannya. Ini berarti besok akan ada penanda tanganan surat wasiat oleh saksi lalu wasiat tersebut dapat dinyatakan sah. Lara belum tahu kapan syarat pertama mulai dilakukan, mungkin besok Kakek Eddie akan membahasnya sekalian.


"Bagas..."


Lelaki rupawan itu menoleh, ia tersenyum melihat kedatangan Lara. Bagas duduk di tepi kolam renang bertelanjang dada, hanya mengenakan celana renang. Sepertinya Bagas selesai melalukan rutinitas weekendnya. Sejak kecil, renang merupakan salah satu kegiatan favorit Bagas. Ia juga jago menahan napas di dalam air, tidak cukup lama tapi bolehlah kalau ada yang menantangnya untuk beradu.


Lara melepas sepatu hak tingginya dan mengangkat roknya hingga lutut. Ia duduk di sebelah Bagas dengan kedua kakinya masuk ke dalam kolam renang.


"Dapat berapa putaran kali ini?" Tanya Lara.


"Sepuluh," jawab Bagas singkat.


Lara manggut-manggut, ia tersenyum. Wanita itu memandang jauh ke depan, melintasi suasana asri persawahan. Villa ini terletak di atas bukit, di bawahnya terdapat sawah-sawah warga yang masih hijau dengan sistem terasering. Terdapat pagar pembatas kaca di tepi ujung kolam. Sedangkan beberapa meter ke depan setelah garis pembatas sudah merupakan turunan bukit. Lara begitu terpukau oleh mahakarya ciptaan Tuhan hingga tidak menyadari pandangan Bagas yang lekat terarah pada dirinya.


"Aku masih mencintaimu, mbak." Ucap Bagas.


Lara menoleh, ia menangkap sorot memuja dari kedua mata Bagas. "Bagas, tolong..."


"Tidak, dengarkan aku dulu!"


Lara terdiam. Ia refleks terpejam ketika tangan Bagas terulur mengelus pipinya. Degup perlahan terpacu dengan ritme yang cukup cepat. Dan ketika ia membuka mata, Bagas telah menyatukan kening mereka.


"Aku akan melakukan apa yang Kakek minta dan aku pastikan syarat pertama pasti bisa kulalui," jempol Bagas menelusuri bibir bawah Lara, "Tapi di persyaratan kedua, aku tidak yakin mbak. Aku terlalu mencintaimu."


Lara masih membisu. Ia bingung. Bagas begitu gigih mendekatinya dengan berbagai cara, terutama di tiga tahun terakhir ini. Anggapan sebagai seorang saudara tidak lagi bisa tersemat. Bagas telah berhasil menimbulkan sensasi candu baru di hatinya yang berduka. Lara sadar jika hatinya mulai bisa menerima keberadaan pemuda itu. Dan berkat Bagas, rasa kehilangan yang menganga, sedikit demi sedikit mulai tertutup.


"Katakan! Apakah aku harus menikahinya kelak?" Melas Bagas.


"Bagas, itu sepenuhnya sudah menjadi hakmu untuk memutuskan, aku..."


"Tolong," potong Bagas, "Tolong tanya kembali hatimu, mbak. Benarkah tidak ada ruang untukku?"


"Bagas..."


"Jika mbak masih menganggapku sama seperti dulu, maka aku akan menikahi gadis pilihan Kakek. Jika mbak melarangku, maka aku rela memberikan semua warisan dari Kakek untuk gadis itu. Yang kuinginkan hanya kau, mbak."


Pernyataan itu bagai serangan memabukan bagi hati rapuh Lara. Ia seolah terseret dalam sensasi menyenangkan dimana seorang pahlawan muncul dengan sebuah penawar luka cinta.

Lihat selengkapnya