*****
Bagas tanpa sadar berjalan sedikit mendekat ke arah gadis itu. Ia sedang melambaikan tangan ke arah sopir mobil pick up yang telah mengantarkannya. Sebuah gamis lusuh berwarna biru pudar yang dipadu dengan jilbab abu-abu. Fashion usang yang tak sanggup membendung aura yang terpancar dari si gadis.
"Berbaliklah, biar kulihat lagi kedua mata cantik itu!" Batin Bagas. Jantungnya berdegup gugup dan perutnya sedikit mulas. Ia belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, termasuk terhadap Lara sekalipun. Bagas yakin ia mencintai wanita itu, jantungnya juga berdetak menyenangkan ketika mereka bersama, tapi ini lain. Ia bahkan tidak bisa mencari satu deskripsi yang tepat untuk menggambarkan sebuah perasaan yang melanda tubuhnya saat ini.
Gadis itu akhirnya berbalik, sorot terkejut terpancar jelas di raut wajahnya. Kedua mata doenya melebar. Bagas menghela napas berat ketika sorot itu seolah melepaskan anak panahnya dan menghujam langsung pada jantung Bagas. Ada rasa deg sesaat sebelum jantungnya berpacu kian cepat. Membuat sekujur tubuhnya bergetar oleh luapan dahsyat yang menyenangkan. Inikah yang disebut jatuh cinta pada pandangan pertama?
Si gadis membungkuk lalu berucap, "Assalamuaikum, mas."
Astaga! Bahkan suaranya terdengar merdu. Bagas hendak menjawab, ketika seseorang menyela, "Mas Bagas, ini mau ditaruh dimana?"
Sial, menganggu momen saja! Padahal beberapa rencana mulai bermunculan di benak Bagas. Mulai dari berkenalan, sedikit rayuan dan tindakan manis, lalu sebuah penutup yang menggairahkan. Niscaya gadis itu akan terbangun dalam pelukannya di keesokan hari.
"Sebentar!" Terpaksa Bagas harus meladeni orang ini terlebih dahulu. Sepertinya si gadis tinggal di sekitar sini, mungkin ia bisa melancarkan aksinya di lain kesempatan. Kedua mata Bagas masih tak mampu lepas memandangi si gadis. Ia enggan pergi tapi ia harus, "Waalaikumsalam," jawab Bagas.
*****
"Kalian gila! Rumah ini tak berlantai!" Teriak Bagas ketika dua orang suruhan Kakeknya mengajak masuk.
"Dan lihat dinding-dindingnya! Semua terbuat dari kayu! Ini gila!" Dumel Bagas.
Bagas akhirnya melangkah masuk menapaki tanah yang bernaung di bawah rumah sempit itu. Ia berjalan berkeliling dan mendapati hanya ada satu ruangan yang disekat kain kelambu. Bagas menyingkap kelambunya, kamar! Ini ruangan untuk tidur. Terdapat dipan kayu dengan sebuah alas tikar di atasnya. Satu bantal dan kain selimut bercorak garis hitam terlipat rapi di sebelah bantal. Bagas menggeleng tidak percaya. Ini kamar tidurnya? Bahkan ia hanya mempunyai sebuah lemari kecil. Tidak ada AC atau mungkin kipas angin, televisi atau home theatre. Hanya sebuah jendela kayu tepat di samping dipan tidurnya dan sebuah radio jadul tergeletak di atas lemari. Ruangan ini pengap dan gelap, pencahayaannya hanya berasal dari sebuah lampu minyak yang terpasang pada dinding kayu.
"Dimana kamar mandinya?" Tanya Bagas.
Satu orang yang sedari tadi mengikuti Bagas menjawab, " Ada di luar, den Bagas. Sepertinya anda harus berbagi kamar mandi dengan tetangga sebelah. Hal seperti ini sudah biasa diterapkan di beberapa kampung."
Bagas tertawa miris, rasanya ia ingin marah dan melempar barang-barang. Tapi, apa yang bisa dilempar? Bahkan Kakeknya hanya memberi sepuluh lembar baju dan celana. Ia beranjak mendekati satu orang lain yang masih sibuk menata barang-barang dapur di pojok belakang.
"Mas Bagas tahu caranya menyalakan api?" Tanya orang itu saat Bagas berdiri di samping dirinya yang berjongkok.
"Untuk apa?"
"Memasak, Mas."
Bagas tertawa, "Yang benar saja! Tidak ada kompor listrik?"
"Den, rumah ini tidak dialiri listrik," jawab satu orang yang tadi Bagas tinggalkan. Ia akhirnya ikut bergabung.