*****
Bunga menapaki pekarangan belakang dengan hati-hati, was-was kalau misal menemukan ular sawah yang nyasar seperti bulan kemaren. Ia membawa lentera dengan pakaian kotor tersampir di bahu. Bunga baru saja mandi, tubuhnya gerah setelah seharian berkecimpung di dapur membantu para koki. Terdengar menyeramkan saat mendengar seorang gadis keluar di tengah malam hanya untuk mandi. Tapi bagi Bunga itu merupakan hal yang biasa, ia tidak bisa tidur dengan tubuh kotor. Sedangkan fasilitas MCK ada di luar rumah, tepatnya di pertengahan pekarangan belakang, di antara rumahnya dan rumah tetangga sebelah. Seperti fasilitas semi umum.
Bunga berhenti ketika mendengar suara sumpah serapah, arahnya dari rumah sebelah. Rumah yang selama lima tahun kosong dan sekarang berpenghuni. Ya, pria tampan yang Bunga tahu bernama Bagas itu sekarang resmi menjadi tetangganya. Ia tersenyum malu, sedikit rasa hangat menjalari pipi saat mengingat pertemuan mereka beberapa saat lalu. Kalimat 'Waalaikumsalam' begitu merasuk, kalimat sapaan balik yang mampu menggetarkan hati Bunga. Padahal ia sudah sering mendengarnya dari mulut banyak orang. Apakah ia sedang jatuh cinta?
Bagas masih berteriak emosi, suaranya terdengar jelas terutama saat satu nama diteriakan oleh Bagas. Bunga mengernyit, ia mengenal nama itu. Eddie Hartono. Siapa sih yang tak mengenalnya, bahkan hampir seluruh warga kampung Hening begitu menyanjung sosok Kakek berwibawa ini. Bagaimana tidak? Jasanya begitu banyak dalam memajukan perkampungan. Eddie Hartono merupakan seorang yang dermawan. Ia secara rutin menyalurkan bantuan berupa sembako dan uang kepada penduduk kampung. Membangunkan sebuah jembatan penghubung agar akses keluar kota terfasilitasi sehingga dapat meningkatkan pendapatan penduduk dari hasil menjual panen ke kota. Jika saja tidak ada jembatan ini, Bunga bakal kesulitan mencari pekerjaan di kota. Ia diharuskan menyeberang sungai yang arusnya deras. Apalagi Eddie Hartono juga memperjuangkan supaya listrik memasuki perkampungan Hening, walaupun belum semerata Kampung sebelah. Tapi kenapa dari sisi Bagas, Eddie Hartono merupakan sosok penjahat?
Tidak mau dikategorikan penguping, Bunga melanjutkan perjalanan. Ia segera masuk ke rumah melalui pintu belakang. Cukup kaget saat mendapati neneknya sibuk di dapur. Menyeduh teh di teko dan menyusun lauk beserta nasi dalam rantang bersusun empat. Memang, neneknya itu mau kemana tengah malam begini?
"Cah ayu, sudah selesai mandi?" Tanya sang nenek, tangannya cekatan memasukan tiga butir buah jeruk dan beberapa pisang yang neneknya panen dari kebun belakang ke dalam keranjang kecil.
"Simbah mau kemana malam-malam begini?"
"Letakan pakaian kotormu, nduk dan antar simbah ke tetangga sebelah!"
*****
"Assalamualaikum, cah bagus..."
Bagas masih mengerjap, "Ternyata hantu si mbah ndok dari KKN bisa berkomunikasi!" Pikirnya kembali ngawur. Beberapa jam di rumah reot membuat akal sehatnya nyaris lenyap.
"Waalaikum salam..." jawab Bagas lirih.
"Boleh simbah masuk, cah bagus? Di luar dingin, kasihan Bunga di belakang."
Kembali Bagas mengerjab. Bunga? Hantu jenis apalagi ini? Perempuan cantik yang memakai sanggul bunga layaknya pengantinkah? Wah pasti kematiannya tragis! Terjun dari jembatan karena calon suaminya kabur untuk menikahi perempuan lain. Sekarang si Bunga ini menghantui setiap perjaka di kampung. Eh, tapi Bagas kan sudah tidak lagi perjaka! Ya! Sepertinya kewarasan Bagas benar-benar hilang, seperti keperjakaannya.
"Tapi, hantu mbak ndok, tolong bilang sama si Bunga ini aku sudah tidak lagi perjaka. Ia bisa mencari lelaki lain yang masih ting ting untuk ia teror."
Perkataan polos Bagas menciptakan satu senyap sebelum dua tawa memecah heningnya malam. Dua tawa? Bagas menggeser tubuh si nenek yang ia kira hantu dan mendapati sosok lain di belakang. Ia sempat mengernyit saat memegang bahu si nenek, tidak dingin layaknya hantu!