*****
(Rabu, 6 September 2023)
Bagas mengintip dari balik tirai jendela samping di sisi rumah bagian depan, ia melihat Bunga sedang berbincang dengan seorang pria. Mereka duduk berdampingan di bawah pohon mangga yang tertanam di pekarangan rumah Mbah Karsa. Sembari memeluk helm di pangkuan, Bunga memperhatikan dengan seksama si pria yang sedang bercerita. Sepertinya Bunga baru pulang kerja dijemput oleh pria itu. Gadis itu tertawa renyah saat si pria memperagakan sesuatu yang lucu. Bagas terpukau, ia bisa melihat dengan jelas lesung pipi di kedua sisi yang ikut mempercantik tawa Bunga. Kedua mata Bunga menyipit, seolah sedang tersenyum. The Smiling Eyes, mungkin Bagas harus merombak sebutan untuk Bunga, karena yang satu ini terdengar jauh lebih berkelas. Tanpa sadar tawa renyah Bunga menular, Bagas pun ikut terkekeh. Aura yang terpancar dari dalam diri seorang Bunga membuat debaran menyenangkan itu kembali mengalun. Jika Bunga dipersandingkan dengan Lara, akan terlihat perbedaan kelasnya. Si Cantik Lara versus Si Manis Bunga. Lara mampu membius pria dengan kemolekan tubuh dan pribadinya yang kuat, sedangkan Bunga mampu membuat orang betah dengan alasan sederhana. Kesederhanaan inilah yang membuat Bunga terlihat indah dan unik di mata pria.
Belum genap dua minggu Bagas tinggal di Kampung Hening, tapi namanya sudah tersohor. Ajaibnya ia dengan mudah dapat berbaur dengan penduduk terutama kaum hawa. Padahal di dalam lingkup pergaulan ibu kota, Bagas termasuk tipe pemilih dan sulit didekati. Mungkin karena keramah-tamahan yang mereka tawarkan. Dari total dua ratus sekian penduduk, rata-rata mereka saling mengenal satu sama lain. Berbeda jauh dengan kehidupan kompleks perkotaan, tetangga depan rumah saja tak saling sapa.
Tak terkecuali Bunga, keluarganya ternyata begitu disegani. Mulai dari mendiang suami Mbah Karsa bernama Mbah Karya hingga Bunga sendiri. Kebaikan yang diperbuat Mbah Karya begitu mahsyur. Bahkan dua gadis SMA yang belum genap berumur tujuh belas tahun pun sempat bercerita kepada Bagas bagaimana Mbah Karya pernah menolong keluarganya. Kebaikan yang diceritakan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi akan terkenang meski jaman telah berubah. Lalu kedua orang tua Bunga yang tak jauh berbeda dengan Mbah Karya. Warga menyebut mereka pasangan penghilang rasa duka. Pasangan ini seperti mentari yang mengusir mendung. Mbah Karsa sendiri dikenal warga sebagai sosok ceria yang ramah kepada siapa pun. Ia mudah berbaur dengan warga dari berbagai kategori umur. Orang yang cukup fleksibel, pandai beradabtasi dalam berbagai sikon. Bunga sendiri, merupakan sosok idaman bagi pria dan sosok panutan bagi wanita. Santun dengan lisan yang tertata, sopan dengan adab yang terjaga. Bunga merupakan orang terakhir yang tinggal di saat yang lain pergi. Begitulah penggambaran setiap orang yang mengenal Bunga.
"Bagiku kau nyaris sempurna, Bunga!" Gumam Bagas.
Bagas lupa jika ia tidak sendirian di rumah. Ada Heri dan Deni yang kembali berkunjung. Kedua pria ini mengernyit, heran. Yang majikannya bicarakan itu adalah si gadis berjilbab, tetangga sebelah kan?
"Den, bukannya mas Bagas itu mencintai Non Lara ya?" Bisik Heri. Mereka masih setia melihat tingkah absurd Bagas yang bak remaja kasmaran. Mengintip sang pujaan dari balik jendela.
"Kau harus tahu bagian ini, ini tidak diketahui oleh siapapun!"
"Apa?"
Jika Bagas sibuk mengamati Bunga, maka dua bawahan Eddie Hartono yang ditugaskan mengawasi cucu tunggal sang konglomerat malah asyik bergosip.
"Hari dimana Den Bagas berangkat, kira-kira jam dua pagi aku melihat Non Lara masuk ke kamar Den Bagas hanya mengenakan gaun tidurnya yang tipis!" Heri terbelalak mendengar pengakuan Deni. "Lalu saat aku memutari taman belakang, tirai ruang kerja Den Bagas terbuka lebar dan mereka berdua melakukan itu di kursi kerja Den Bagas."
"Itu..." kalimat sengaja Heri gantung untuk mendapatkan reaksi dari Deni.
"Iya, itu. Mereka melakukannya kira-kira dua jam mungkin?"
"Kau melihatnya?"
Deni cengengesan, wajahnya memerah saat mengingat betapa panasnya adegan-demi adegan yang dilakoni oleh Bagas dan Lara. "Bioskop panas gratis Her, special front seat! Kapan lagi coba?" Celetuknya.
"Parah kau, Den! Tapi kenapa mereka membuka tirainya? Apa tidak takut kepergok orang lain, kau misalnya?"
Deni mengedikan bahu, tidak mau ambil pusing. Yang jelas, ia mendapatkan hiburan gratis. Badannya sampai panas dingin saat melihat betapa liarnya si Nona majikannya itu bermain di pangkuan Bagas. Bagas saja sampai kewalahan.
"Sebentar, kau di sini saja. Coba kutengok mas Bagas lagi ngapain." Heri beranjak dari duduknya dan menghampiri Bagas.
"Mas, ngapain sih?" Tanya Heri, tangannya hendak membuka tirai jendela lebih lebar tapi ditepis Bagas.
"Jangan dibuka lebar-lebar, nanti ketahuan kalau lagi ngintip!"
"Neng Bunga maksud mas Bagas?"