3663 km Menuju Bulan

Tary Lestari
Chapter #1

Bab 1

BAGIAN 1 

ANTARA AKU, IBU DAN BULAN


Bab 1

Suara pintu membentur dinding membangunkanku dari tidur tanpa mimpi. Aku membuka mata perlahan, jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Aku melihat ranjang di sebelahku, mencari Ibu yang sejak divonis kanker, tidur sekamar denganku. Ranjang itu ternyata kosong. Selimut abu-abunya tersingkap dan ujungnya menjuntai ke lantai. Aku menggeser tubuhku ke tepi pembaringan, menarik selimut. Boneka kelinci yang jelek dan lusuh itu menggelinding ke bawah.

Itu adalah boneka kelinci kesayangan Bulan waktu kecil dulu. Sampai hari ini, Ibu tidak bisa melupakan mainan kesayangan Bulan sementara semua mainan masa kecilku sudah dibuang saat aku beranjak remaja. Ibu memeluk boneka kelinci jelek itu setiap malam seperti memeluk Bulan, anak kesayangannya.

Aku memungut boneka kelinci itu dan seketika aku ingin melemparnya melalui jendela. Bahkan aku harus bersaing dengan boneka seburuk ini hanya untuk mendapatkan kasih sayang ibuku, namun, aku tetap saja kalah. Aku meremas boneka itu dengan kesal lalu menaruhnya di pojok ranjang. Aku lebih berharga dari sebuah boneka jelek yang tidak punya nyawa dan tidak bisa mengurus Ibu, begitu batinku menjerit.

Ibu pasti ke kamar mandi tanpa membangunkanku.

Tetapi, suara pintu mana yang baru saja kudengar?

Aku turun dari pembaringan, menyeret kakiku keluar kamar. Kamar mandi kami ada di ujung ruangan. Aku bisa melihat pintu kamar mandi yang terbuka dan satu kaki ibu yang menjulur. Aku terkesiap dan berlari ke sana. Ibu terbaring dengan posisi telentang, tangannya menggapai-gapai. Sepertinya ibu terpeleset dengan kepala membentur pintu. Aku meraih tubuh Ibu dan mengangkatnya dari lantai. Tubuh Ibu semakin kurus sehingga aku dengan mudah menggendongnya kembali ke kamar.

“Harusnya Ibu bangunin aku kalau mau ke kamar mandi,” kataku sambil mengganti pakaian ibu yang basah. “Ada yang luka?”

Ibu menggeleng. “Aku melihat Bulan duduk di pinggir tempat tidurku, lalu dia keluar kamar, kuikuti keluar, dia masuk ke kamar mandi dan hilang di sana.”

“Pasti Ibu mimpiin Bulan lagi,” jawabku.

Aku mengambilkan air minum untuk Ibu. Setelah memeriksa semua tubuh Ibu dan tidak menemukan luka, aku membantunya berbaring lagi. Ibu memegangi kepalanya yang terbentur pintu, mungkin terasa pusing.

Tiba-tiba air matanya mengalir deras lalu terisak-isak menangis. Ibu sudah hampir setahun sakit kanker usus. Bulan lalu, kankernya sudah memasuki stadium 4 dan dokter angkat tangan. Semua kemoterapi yang sudah dijalani tidak memberi kemajuan apapun. Aku hanya punya tiga bulan untuk menyenangkan Ibu sebelum waktunya habis.

Lihat selengkapnya