Bab 2
Memanjat adalah hobbyku sejak kecil. Ayah mendukungku dengan membelikan peralatan pengaman dan mendaftarkanku pada kegiatan panjat dinding. Beberapa kali aku menyabet penghargaan panjat dinding. Pernah satu ketika aku terjatuh dari pohon saat memanjat pohon di pegunungan. Aku hanya ingin melihat pemandangan dari atas pohon tanpa memeriksa bahwa dahan yang kupijak rapuh. Tubuhku melesat tertarik gravitasi bumi dan menghantam tanah kering. Jantungku terasa berhenti seketika dan darahnya menyembur melewati semua pembuluh darah sehingga tubuhku terasa hendak meledak.
Begitulah yang kurasakan kini, saat pagi ini aku menemukan Ibu sudah tidak bernapas di pembaringannya. Tangannya memegang kertas, matanya terkatup rapat dan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu. Sejenak aku terdiam beku. Tubuhku memang tidak bisa merespon kesedihan secara mendadak. Aku selalu butuh waktu untuk mencerna segala sesuatu yang terjadi di depanku. Biasanya satu hingga dua jam kemudian aku baru bisa meresponnya. Entah itu respon tangisan atau gemetar di sekujur tubuh.
“Ibu? Ibu? Ibu kenapa?” panggilku masih tak percaya sambil menggoncang tubuh Ibu. “Ibu, ibu cuma tidur, ‘kan?”
Ibu terdiam kaku, tidak menjawab apapun. Aku memeriksa lagi nadinya yang sudah kosong dan napasnya yang tidak berhembus lagi. Aku sungguh tak percaya bahwa ibu pergi begitu saja tanpa berpamitan padaku. Aku tahu, Ibu pasti akan pergi dalam waktu dekat tetapi setidaknya ia bisa berpamitan padaku, teman satu-satunya selama 20 tahun terakhir. Tapi kenyataannya, Ibu memilih tidak berpamitan padaku bahkan ia menulis pesan di kertas yang tergenggam di tangannya tentang Bulan.
‘Bintang, carilah Bulan. Itu kewajibanmu untuk menemukannya.
Jangan tinggal di rumah ini sebelum kamu menemukan Bulan.’
Respon emosiku lebih cepat saat membaca surat wasiat Ibu. Aku jarang menangis apalagi di depan orang lain. Tetapi kali ini tangisku meledak, entah bagian mana yang sedang kutangisi. Kepergian Ibu yang memang sudah kupersiapkan kedatangannya atau aku yang terusir dari rumah ini? Entahlah, aku terus saja menangis sambil mengirim pesan ke saudara-saudara Ibu. Hingga mereka berdatangan air mataku masih bercucuran.
Pemakaman Ibu siang itu terasa sangat menyakitkan bagiku.
“Ini wasiat, Bintang. Harus dijalankan,” kata Tante Lin, adik Ibu, saat aku menunjukkan surat wasiat itu seusai pemakaman.
“Kamu bisa tinggal di rumah Om, sementara sambil mencari Bulan,” tawar suami Tante Lin.
Aku menggeleng dan masuk ke kamarku. Adik-adik Ibu juga menyesalkan adanya wasiat itu. Mereka mengatakan bahwa itu tidak adil untukku. Bagaimana bisa seorang Ibu menjelang kematiannya mengusir anaknya sendiri tanpa alasan yang jelas. Bahkan kebencian seseorang terhadap orang lain selalu memiliki sebab. Tetapi ketidaksukaan Ibu kepadaku hanya karena aku bukan tipe anak kesayangannya. Sungguh dramatis.
Aku berdiri gamang di kamarku, memandangi semua barang-barangku yang berserakan. Ruang kreatifku juga akan kutinggalkan meskipun di sanalah hidupku sejak remaja. Bagaimana mungkin aku sanggup meninggalkan semua ini? Lalu aku harus tinggal di mana? Aku tidak tahu mencari Bulan butuh waktu berapa lama, bisa jadi aku tidak akan sanggup menemukannya. Aku benar-benar tidak percaya Ibu melakukan ini padaku menjelang kepergiannya. Aku membanting tubuhku di pembaringan, tetapi aku merasakan mata Ibu melihatku dari balik pintu, memintaku segera berkemas dan meninggalkan rumah.