Bab 3
Selama beberapa saat aku berdiri gamang di belakang lelaki berpostur tinggi kurus itu. Rambutnya yang legam masih gondrong sebatas bawah telinga sementara model pakaiannya juga masih kaos dan luaran kemeja kotak-kotak flanel. Ia tidak berubah, meskipun kami sudah tidak bertemu beberapa tahun terakhir karena ia banyak melakukan perjalanan solo keliling dunia dengan sepedanya. Bedanya, sekarang ia mengenakan kacamata dengan frame warna hitam yang tampak kekinian. Ia tidak menua bahkan kelihatan lebih muda dari usia sebenarnya.
“Bintang!” teriaknya begitu menyadari aku sudah berdiri di samping mejanya.
Ia tersenyum lebar sambil membentangkan tangannya dan aku dengan canggung masuk ke dalam pelukan tangannya yang kokoh. Rasanya masih sama, hangat dan nyaman. Aku kembali tersihir oleh harum parfum beraroma kayu dan vanilla yang maskulin. Aroma yang membuatku ingin berlama-lama ada di sampingnya meski sepanjang persahabatan kami sejak remaja, aku tidak pernah mengakui bahwa kenyamanan itu selalu ada di sana. Kami satu sekolah lalu satu kampus. Banyak waktu kami habiskan bersama, mulai dari memanjat, mendaki gunung dan berpetualang ke tempat-tempat asing.
“Gimana kabarmu?” tanyanya ketika aku menarik diriku dari pelukannya.
“Baik-baik saja sejauh ini, nggak tahu besok…” jawabku tidak semangat.
“Ada yang terjadi?” tanyanya lagi dengan pandangan khawatir.
Sejak dulu, mata teduh itu berubah sayu setiap melihatku sedih. Diam-diam aku menyukai perhatiannya meski aku pura-pura tidak memerhatikannya.
“Ibu meninggal sebulan lalu, dan aku pindah ke rumah teman di pinggiran kota,” jawabku.
Ia terdiam sejenak, terkejut. “Maaf Bin, aku baru dengar kabar ini. Aku turut berduka, ya…Terus rumahmu gimana?”
Aku menghela napas. “Ceritanya panjang, nanti kapan-kapan aku ceritain.”