3663 km Menuju Bulan

Tary Lestari
Chapter #4

Bab 4

Bab 4


Ibu,

Aku pergi, untuk menakhlukkan ketakutan-ketakutanku.

Aku tidak tahu kapan akan kembali, mungkin tidak kembali.

Tetapi, Ibu tidak usah khawatir, aku akan baik-baik saja.

Aku sayang Ibu.

Putrimu, Bulan.

 

Aku sudah membaca surat pamitan yang ditulis Bulan itu berkali-kali sejak 20 tahun yang lalu. Tetapi, aku tidak menemukan petunjuk apapun. Ya, memang tidak ada petunjuk di dalamnya. Itu hanya surat pamitan biasa, yang artinya dia pergi atas kemauannya sendiri, bukan diculik atau dipaksa orang lain untuk meninggalkan rumah.

Namun, Ibu selalu mengartikan lain isi surat itu karena Bulan tidak menyebutkan namaku dan Ayah. Bulan tidak pamitan padaku dan Ayah saat meninggalkan rumah. Aku mengungkapkan alasan pada Ibu bahwa saat Bulan meninggalkan rumah, Ayah sudah tiada. Tetapi, Ibu selalu berasumsi bahwa kepergiannya berkaitan dengan aku dan Ayah. Ibu mendesakku untuk mengaku bahwa aku kemungkinan bertengkar atau mengeluarkan kata-kata yang membuat Bulan sakit hati lalu merasa terusir dari rumah. Semua masalah tentang Bulan dalam sudut pandang Ibu adalah kesalahanku.

Aku memang bertengkar dengan Bulan seminggu sebelum dia pergi, tetapi itu hanya pertengkaran biasa yang tidak ada artinya apa-apa. Bahkan kami sering melakukan itu tanpa diketahui Ibu.

“Kamu memang anak Bapak, selalu dibela apapun yang kamu inginkan. Sedangkan aku?” kata Bulan saat bertengkar denganku.

“Bukannya Bapak juga selalu membelamu. Bapak itu adil beda dengan ibu yang selalu menyalahkanku,” jawabku kesal.

“Kamu memang salah,” katanya mengejutkanku.

“Salah apa?” tantangku. “Sebutin aku salah apa?”

“Keluyuran sama teman laki-laki, jarang di rumah…” jawabnya.

“Laki-laki itu cuma Gara, dia sahabatku,” aku membela diri.

“Tetapi saja dia laki-laki, hiduplah yang benar sebagai perempuan Bintang, masak temenan sama laki-laki dan nggak punya cewek satupun,” sergah Bulan.

Aku tertawa.

“Itu bukan kesalahan, hanya hidupku aja yang beda sama kamu. Aku memang nggak suka di rumah karena aku belajar banyak hal di luar. Aku memotret, meliput, menulis berita dan berpetualang. Aku nggak suka berteman dengan teman-teman cewek dan itu pilihanku, kalau kamu suka ya lakukan saja, aku tidak mengganggumu. Nggak usahlah apa yang nggak kamu sukai itu kamu artikan kesalahan buatmu.”

Bulan memandangku dengan wajah merah padam. Kami 16 tahun saat itu dan sudah duduk di bangku kuliah karena kami melompat kelas beberapa kali. Bulan memang lebih suka di rumah masak memasak sementara aku berkeliaran di luar dan berpetualang. Tapi jelas, bukan berarti perbedaan kami adalah kesalahan.

Itu adalah pertengkaran terakhir kami. Sejak pertengkaran itu, Bulan lebih banyak diam mengunci diri di kamar. Tetapi, kurasa bukan itu sebabnya jika ia mengunci diri di kamar. Aku pernah melihatnya sesekali dia keluar kamar dan wajahnya tampak pucat. Setiap aku berusaha bertanya kenapa, dia malah mengunci kamarnya lagi. Akhirnya aku juga tidak peduli dia mau melakukan apapun karena ketika Bulan menghindariku itu lebih baik bagiku. Tidak banyak masalah yang timbul meski Ibu selalu mengomel padaku dengan kondisi Bulan yang semakin menutup diri.

Lihat selengkapnya