3663 km Menuju Bulan

Tary Lestari
Chapter #5

Bab 5

Bab 5


Aku dan Bulan sedang berperahu di lautan lepas. Kami mematikan mesin perahu dan perlahan mulai mendayung perahu kecil yang ukurannya hanya bisa ditempati satu hingga dua orang. Aku dan bulan lebih suka berperahu terpisah sehingga kami bisa bebas melihat lumba-lumba. Sejauh pandangan, air biru kehitaman membentang menggambarkan betapa dalamnya lautan di bawah perahu kami. Di kejauhan garis batas horizon membuat kami merasa semakin kecil dan tidak berharga.

Perlahan, perahu terus bergerak maju. Lumba-lumba cantik berlompatan menggemaskan di sekeliling perahu kami. Bulan sangat menyukai lumba-lumba, tetapi selama ini ia hanya melihat atraksi lumba-lumba di gelanggang samudra. Meski awalnya ia menolak bepergian jauh ke lautan lepas tetapi aku memaksanya agar ia bisa melihat habitat lumba-lumba yang sebenarnya.

 “Apa lumba-lumba ada yang kembar?” tanya Bulan.

“Mungkin saja,” jawabku sambil memerhatikan kejauhan.

Mendung mendadak datang tersapu angin dari selatan, langit menjadi sedikit gelap. Tadi sebelum berangkat tidak ada tanda-tanda hujan, kenapa sekarang mendadak mendung?

“Semoga kalau kembar mereka nggak kayak kita…”

“Emang kenapa kita?” tanyaku.

“Berbeda 180 derajat dan tidak pernah bisa hidup bersama-sama.”

Aku menghela napas. Bulan memang pendiam dan terlihat tenang ketimbang aku yang kasar dan ugal-ugalan. Tetapi kata-katanya yang hanya satu dua itu seringkali lebih menyakitkan sampai di telinga orang lain ketimbang kata-kataku.

“Aku mau lihat ke seberang pulau sana!”

Tiba-tiba Bulan menghidupkan mesin perahunya sehingga lumba-lumba yang melompat-lompat di sekeliling kami ketakutan dan berenang menjauh.

“Bulan tunggu! Kamu mau kemana?” teriakku.

“Aku mau ke tempat yang bisa menerimaku dan menjawab pertanyaanku. Kamu pasti tahu di mana tempat itu!” jawabnya menjauh dengan cepat.

Mendung mendadak semakin gelap. Langit kehitaman dan ombak bergulung-gulung. Sebentar lagi badai, tetapi Bulan justru menuju tengah lautan. Aku berteriak-teriak memanggil Bulan, tetapi ia tidak mengindahkan panggilanku. Bulan terus melaju hingga badai benar-benar datang. Ombak bergulung menghantam perahu Bulan, sementara aku mundur perlahan. Aku melihat Bulan menghilang di tengah lautan.

Aku terbangun dari mimpi panjang di tengah lautan sambil terengah-engah. Keringat bercucuran membasahi tubuhku. Ketika membuka mata, sekelilingku lengang, hanya ada suara jangkrik dan angin yang menerbangkan daun-daun kering. Aku bangkit dari pembaringan dan meraih gelas minum di meja. Dua teguk air putih membuatku sedikit tenang. Kata-kata Bulan dalam mimpi kembali terngiang di telingaku.

“Aku mau ke tempat yang bisa menerimaku dan menjawab pertanyaanku. Kamu pasti tahu di mana tempat itu!”

Itu petunjuk! Ya, Bulan mengirim pertanda itu padaku!

Begitulah cara kami saling berkomunikasi melalui ikatan batin sejak kecil. Sebagai kembaran kami pasti diciptakan dengan perasaan saling menjaga satu sama lain. Tetapi, aku sengaja mengabaikan semua ikatan yang kami miliki sejak pertengkaran demi pertengkaran membuatku sesak dan pembelaan Ibu membuatku tertekan. Aku menganggap ikatan itu tidak ada gunanya.

Sekarang aku harus menemukan Bulan dengan cara kembali merekatkan ikatan yang ada diantara kami.  Di mana tempat yang bisa menerima Bulan dan menjawab pertanyaannya itu?  Aku meremas kepalaku yang mendadak sakit lalu turun ke lantai bawah. Kupandangi analisa-analisaku tentang kepergian Bulan, tetapi aku tetap saja gagal memahami dan tidak menemukan jalan pemahaman tentang Bulan.

Lihat selengkapnya