Bab 6
Aku memasuki rumah yang telah sebulan ini kutinggalkan. Kusibakkan gorden jendela sehingga cahaya bisa menembus masuk ke dalam rumah. Debu beterbangan membuatku terbatuk-batuk. Aku memang tidak membersihkannya selama sebulan ini. Kini, suasana rumah ini terasa dingin, lengang dan menyedihkan. Tidak ada lagi teriakan Ibu yang kesakitan di saat-saat terakhirnya. Tidak ada lagi rengekan Bulan yang manja minta Ibu menyediakan bahan untuk masakan-masakannya. Tidak ada lagi senyum sabar Ayah menghadapi pertengkaran-pertengkaran kecil kami. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa akulah orang terakhir yang akan menghuni rumah ini.
Melewati lorong di depan kamar Ibu, aku seperti melihat bayangannya sedang mengawasiku, seolah memintaku segera meninggalkan rumah jika belum sanggup membawa Bulan pulang. Gara mengikuti langkahku dalam diam, hanya matanya cermat mengawasi sekeliling. Aku tahu, dia tidak mau mengatakan apapun, khawatir membuatku semakin terluka. Rumah ini penuh kenangan tapi aku tidak berhak pulang ke sini lagi. Kami tiba di depan pintu kamar Bulan.
Aku sudah lama tidak memasuki kamar Bulan. Terakhir aku membangunkan Ibu yang tertidur di sini beberapa minggu sebelum kepergiannya. Sekarang ketika kembali berdiri di kamar kembaranku, aku merasakan suasana yang muram. Perabotan dan posisinya masih seperti 20 tahun yang lalu, tidak ada yang berubah. Ibu tidak mau mengubah apapun di kamar Bulan. Pertengkaran demi pertengkaran kami kembali muncul di depan mataku. Penyebab-penyebabnya selalu sepele tetapi semua terasa sangat menjengkelkan. Apalagi saat Ibu mulai ikut campur dan membela Bulan. Itu situasi yang paling kubenci. Setelah pertengkaran biasanya aku yang akan pergi meninggalkan rumah melakukan perjalanan ke gunung atau ke kota asing meski usiaku masih sangat muda kala itu.
“Harusnya Bulan menyimpan semua koleksi kliping kebun teh di sini,” kataku membuka nakas di kamar Bulan.
Nakas itu ada di samping tempat tidur. Waktu kecil, aku ingat Bulan menyimpan benda-benda kesayangannya di sana. Aku mengeluarkan semua isi nakas dan membuka-bukanya, tetapi hanya ada pencil dan pulpen. Selebihnya kertas-kertas kosong tak berguna. Sepertinya, Bulan tidak menyimpan benda kesayangannya di nakas ini lagi. 20 tahun berlalu, selama itu pula aku tidak mengecek barang-barang Bulan. Ibu yang selalu masuk ke kamar ini beberapa hari sekali untuk membersihkannya.
“Apa barang-barang itu dia bawa?” tanya Gara.
Aku memandang kamar berkeliling. Tidak mungkin Bulan membawa barang-barangnya, seingatku dia hanya pergi membawa beberapa baju, handphone dan dompet. Barang-barang itu pasti merepotkan jika dibawa. Bahkan Bulan juga tidak membawa satupun peralatan memasak yang sangat ia cintai. Mendadak aku teringat atap kamar yang berjatuhan dalam mimpiku waktu kebakaran. Aku mendongak ke langit-langit untuk mencari jejak yang ada dalam mimpiku. Benar saja, aku melihat selot di atas sana. Apa ada lubang di atas sana?
“Ada selot di sana!” pekikku.
Gara memandang ke atas dan bangkit dari duduk. Aku berlari keluar kamar mengambil tangga. Aku memposisikan tangga di bawah selot itu, lalu Gara naik ke atas tangga. Benar, ketika selot dibuka, Gara menemukan kotak yang tersimpan di langit-langit kamar. Gara membawanya turun dan aku membuka kotak yang tidak terkunci itu.
Semua barang kesayangan Bulan ada di sana.
Foto-foto koleksi kebun teh, pernik-pernik hadiah dari Ibu seperti kalung mutiara, gelang, jepitan, bros dan giwang memenuhi kotak itu. Aku tidak pernah punya hadiah seperti itu dari Ibu karena aku tidak menggunakan aksesories apapun. Ada satu foto kebun teh yang menarik mataku dan aku mengamatinya lebih teliti. Di belakang foto itu ada tulisan.
‘Rancabali, mungkin ini akan jadi tempatku nanti.’
Aku membolak-balik foto itu dan mengecek foto lainnya. Tetapi tidak menemukan foto lain yang sejenis dengan itu. Gara melihat foto itu.