Bab 7
Pagi masih berkabut ketika mobil Gara membelah jalanan Bandung menuju arah selatan. Semakin menanjak udara di luar semakin dingin. Aku menggigil kedinginan meskipun tidak sedingin batinku yang was-was membayangkan pertemuanku dengan Bulan. Aku yakin dia masih hidup, hatiku mengatakan itu. Tetapi, aku merasa tidak siap bertemu dengan Bulan setelah 20 tahun berpisah. Apa yang akan kukatakan padanya nanti? Apakah dia masih seperti yang dulu? Atau dia sudah berkeluarga? Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benakku itu membuatku semakin tidak menentu.
“Kita cari rumah yang di foto?” tanya Gara membelokkan mobilnya ke arah kiri.
Aku mengangguk. Kami sudah beberapa jam bermobil dari pusat kota Bandung dan tiba di jalanan tanah menuju arel perkebunan. Kebun teh ini sangat luas tentu tidak mudah mencarinya hanya berbekal mimpi. Tetapi, aku memiliki petunjuk rumah zaman Belanda itu. Hanya itu yang kupunya meski tidak logis sama sekali. Aku tidak peduli. Rumah itu adalah kunci, aku yakin Bulan tinggal di sana.
Dahulu, ketika usiaku 10 tahun, aku pernah hilang di hutan karena bermain sendirian. Ayah dan Ibu sudah mencari kemana-mana melibatkan banyak orang tetapi tidak bisa menemukan aku. Bulan juga mencariku melalui mimpi-mimpinya. Aku mengirim pertanda ke Bulan bahwa aku berada di suatu tempat dan tanda-tanda itu muncul melalui mimpi-mimpi Bulan. Aku ditemukan di sebuah gubuk kecil tengah hutan setelah sehari semalam hilang berkat mimpi-mimpi Bulan. Kali ini sebaliknya, aku yang mencari Bulan. Aku yakin Bulan memang mengirimkan tanda-tanda itu padaku, bahkan mungkin sudah lama ia mencoba menghubungiku. Tetapi, aku selalu mengabaikannya.
“Sepertinya itu rumahnya,” Gara menghentikan mobil. “Apa kita parkir di halaman rumah saja?”
Aku tersentak dari lamunanku dan memandang rumah di ujung jalan itu. Di sana ada rumah besar berarsitek Belanda, sama persis dengan rumah yang ada dalam mimpiku. Tetapi, aku mulai ragu. Apakah rumah itu yang ditempati Bulan? Bukankah rumah itu rumah kosong? Rumah itu sekilas tampak angker dan tidak terawat. Aku mulai ragu apakah mungkin Bulan yang penakut tinggal di rumah seperti itu. Jangan-jangan mimpi yang kusebut pertanda itu hanya bunga tidur karena aku memikirkan dan mencari Bulan sekian lama.
“Kita parkir di sini saja, khawatirnya yang punya rumah kaget,” jawabku turun dari mobil, diikuti Gara.
Gara menurut.
Kami berjalan menuju halaman rumah yang persis dalam mimpiku. Halamannya luas dipenuhi rumput ilalang yang tidak pernah dipotong. Ini yang berbeda dengan yang ada dalam mimpiku. Rumah Belanda dalam kenyataan ini seperti rumah kosong. Pintunya memang terbuka lebar, jendela-jendelanya juga terbuka lebar, namun, sepertinya tidak ada orang yang menghuni di dalamnya. Gara melangkah melewati pintu dan mengucap salam, tetapi tidak ada siapapun. Tidak ada jawaban apapun selain gemerisik angin yang melewati ilalang.
“Rumah ini kosong…” kata Gara seperti pada dirinya sendiri.
“Tapi ini persis rumah yang ada di mimpiku.”
Setelah mengecek semua ruangan mulai dari ruang tamu, ruang tengah, dapur bahkan ke semua kamar dan tidak menemukan apapun, aku dan Gara berjalan keluar rumah untuk kembali mengecek halaman. Aku mengikuti langkah Gara karena mendadak merasa merinding berada di dalam rumah itu. Aura masa lalu yang kuat dari rumah kosong itu membuat batinku yang sudah dingin semakin menjadi-jadi.
Seorang wanita tua pemetik teh yang baru pulang dari perkebunan, singgah di halaman rumah. Sepertinya ia kelelahan dan duduk di bawah pohon besar yang ada di halaman depan rumah sambil minum air dari botol minumnya.
Aku mengikuti Gara mendekati wanita itu. Wanita itu terkejut melihat kami datang tiba-tiba.
“Haduhhh, kaget saya. Saya kira teh hantuuu….Nyari siapa atuh teh? Kalian siapa?” tanyanya mendahului kami yang baru mau mengajukan pertanyaan.
“Penghuni rumah ini kemana, ya Bu?” tanyaku.
“Weleh, penghuni rumah ini teh hantu… masa kalian nyari hantu?” jawabnya dalam logat Sunda yang kental.
“Jadi rumah ini kosong, Bu?” tanya Gara.
Wanita itu mengangguk, “Kosong puluhan tahun. Saya juga tidak tahu siapa yang punya, mungkin masih milik perkebunan ya.”
“Ibu setiap hari lewat sini?” tanyaku lagi.