Bab 8
Aku memutuskan untuk memakamkan Bulan di pemakaman yang ada di dekat perkebunan teh. Ini adalah tempat yang ia sukai, bahkan ia ingin tinggal di sini selamanya. Aku menghormati pilihan Bulan. Para pemetik teh, pekerja kantor perkebunan dan orang-orang sekeliling yang mengenal Bulan mengantarkan Bulan ke peristirahatan terakhirnya. Mereka juga meminta maaf karena tidak memerhatikan Bulan selama ini. Sepertinya, Bulan bergaul cukup baik dan dicintai banyak orang di lingkungan ini. Begitu selesai pemakaman, orang-orang menyalamiku satu persatu. Sebagian dari mereka menangis karena melihatku memiliki wajah sama persis seperti Bulan. Mereka terkenang masa-masa bersama Bulan. Seorang lelaki paruh baya dengan pakaian necis menghampiriku dan menyalamiku. Wajahnya tampak ramah dan baik.
“Saya Ridwan, kepala kantor perkebunan. Saya turut berduka dan sangat kehilangan pekerja yang baik seperti Bulan,” katanya.
“Terima kasih,” jawabku.
“Bulan datang ke sini empat tahun yang lalu bersama anaknya. Tapi sejak anaknya pergi delapan bulan lalu, Bulan jadi kesepian,” katanya.
Aku berusaha mendengar informasi sebanyak-banyaknya yang masuk ke telingaku, sambil berusaha tidak mengatakan bahwa aku sudah lama tidak bertemu Bulan. Tetapi aku yakin, Pak Ridwan menyadari bahwa aku terkejut ketika mendengar Bulan sudah memiliki anak. Gara yang memahami kondisiku berusaha untuk mendampingi sebisanya.
“Kami datang untuk berkunjung, tetapi malah menemukan Bulan dalam kondisi sakit,” kata Gara.
“Suaminya jarang datang, hanya beberapa bulan sekali saja. Harusnya kami sering menjenguk Bulan ke rumahnya, maafkan kami,” balas Pak Ridwan.
“Saya kehilangan kontak ponakan saya karena ganti handphone. Apa Bapak masih menyimpan kontak ponakan saya?” tanyaku pasti agak terdengar aneh.
Tetapi, Pak Ridwan sepertinya bukan orang yang rese ingin tahu urusan orang lain, ia membuka handphonenya dan memberikan sebuah kontak padaku. Ponakanku itu bernama Angkasa Biru, usianya sudah 20 tahun dan sekarang bekerja di luar negeri, tepatnya sebagai pekerja migran. Aku benar-benar tidak memahami kondisi ini, bagaimana mungkin Bulan memiliki anak berusia 20 tahun?
“Apa Bulan pergi dari rumah karena hamil?” tanyaku entah pada siapa.
Gara yang berjalan di sampingku pulang dari pemakaman menuju rumah Bulan hanya mengangkat bahunya. Ia merangkul bahuku untuk menenangkanku, tetapi tidak mengatakan apapun.
“Siapa suaminya?” tanyaku lagi.
“Besok aku cari infonya, tidak tepat kalau sekarang kita bertanya ke orang-orang yang datang ke pemakaman,” jawab Gara.
Aku mengangguk lalu mengusap air mataku yang kembali jatuh menuruni pipiku. Rasa penasaran meledak-ledak dalam diriku. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi dan Bulan tidak menceritakan apapun pada keluarga malah minggat tanpa jejak selama 20 tahun? Apa untuk menunjukkan bahwa seorang pemberani harus seperti ini?
Ketika malam datang menyelimuti perkebunan teh, aku dicekam kesepian yang menyakitkan. Gara sedang keluar mencari makanan. Aku duduk di tengah rumah mungil Bulan yang berantakan bekas penganiayaan. Lampu redup lima watt menyala di dinding membuatku semakin muram. Kenapa kamu hidup seperti ini, Bulan? Apa karena kesalahanku kamu hidup seperti ini? Aku menghela napas panjang, berusaha menghalau sakit di dadaku yang terasa ditusuk-tusuk setiap membayangkan Bulan.