BAGIAN 2
ANGKASA DAN KISAH-KISAH LARA
Bab 11
Sembilan belas jam. Ia kehabisan tenaga di menit-menit terakhir, tubuhnya terasa lemas dan matanya tidak sanggup lagi terbuka. Ada satu komputer datar di depannya, namun layarnya tampak kabur dan bergelombang. Tangannya berkeringat dingin ketika memegang handphone sehingga terasa licin dan handphone itu meluncur jatuh ke meja. Entah pada detik keberapa tubuhnya merosot dari kursi dan kepalanya bertumpu di meja. Ia terlelap memimpikan kampung halaman yang jauhnya 3663 kilometer dari tempatnya kini berada.
Tetapi, mimpi yang sekejap itu membawa petaka.
Seorang penjaga bertubuh sedang dengan otot-otot yang kencang menyeretnya dari kursi hingga ia terjatuh ke lantai. Beberapa teman lain yang sedang bekerja di sampingnya hanya melirik tanpa beranjak dari kursi, tidak berani menolong. Tidak ada yang berani menolong saat salah satu dari mereka dianiaya, karena jika menolong mereka akan dianiaya lebih parah dari orang yang ditolongnya. Ia belum sepenuhnya terbangun dari mimpi ketika diseret keluar ruangan.
Lalu, menyemburlah segala makian dan umpatan dari mulut lelaki penjaga yang bertubuh sedang itu. Tentang pekerjaannya yang sering tidak mencapai target, tentang orang-orang pemalas yang sudah dibayar mahal dan tentang waktu yang dibuang-buang percuma. Ia tidak memahami bahasa mereka kecuali sepotong-sepotong dalam bahasa Inggris, namun dari wajahnya yang merah padam jelas kata-kata yang keluar dari mulut mereka itu bukan kata-kata baik melainkan umpatan dan makian.
Ia dilempar ke ruangan belakang apartemen seperti binatang. Ruangan itu memang dikhususkan sebagai ruang penganiayaan jika pekerja tidak memenuhi target pekerjaan atau mangkir dari pekerjaannya. Bahkan hanya bolak-balik ke toilet karena sakit perut saja, mereka bisa diadili di ruangan itu. Ruangan itu masih menyambung dengan ruang kerja, sehingga para pekerja bisa melihat secara langsung penganiayaan itu. Tubuhnya membentur tembok. Terdengar bunyi krek dari tulang rusuknya yang patah menghantam tembok. Gelenyar rasa sakit merambat ke ke arah kepalanya, terasa menusuk-nusuk menyakitkan hingga matanya berair. Pandangannya semakin kabur ketika beberapa orang datang menghampirinya.
Dua orang, tiga orang, empat orang, ah tidak! Sepertinya delapan orang! Semuanya memiliki otot yang liat dan kencang seolah tidak akan bisa dihantam balik oleh siapapun. Tangan mereka memegang senjata berupa pipa paralon, cambuk kulit, tongkat pemukul dan satu senjata yang paling ditakutkan semua orang adalah alat setrum.
Lalu, pukulan dan cambukan menghujani tubuhnya.
Satu menit, dua menit, tiga menit…
Pukulan demi pukulan terus menghantamnya. Darah dari bagian-bagian tubuhnya yang terluka menyembur keluar. Teman-temannya masih di depan komputer masing-masing, menahan diri untuk bangkit dari duduknya. Mereka tidak sanggup melihat temannya disiksa karena giliran mereka juga akan tiba saat tidak memenuhi target pekerjaan atau tertidur setelah belasan jam bekerja. Sebagian penjaga menjadikan penyiksaan itu tontonan, mereka tertawa-tawa gembira sambil melemparkan botol-botol bekas minuman ke arah pekerja yang sedang disiksa.
Hingga satu jam kemudian, ia pingsan di ruangan itu.
Para penyiksanya sudah masuk ke ruangan masing-masing, sementara ia diangkat teman-temannya ke dalam kamar lalu dibaringkan di lantai. Ada 15 orang Indonesia di apartemen ini. Mereka datang dari berbagai tempat dikirim agen-agen ilegal. Setiap selesai bekerja, mereka tidur di dua kamar yang masing-masing kamar memiliki 3 ranjang susun. Barang-barang mereka seperti baju, sepatu dan peralatan pribadi juga ada di dalam kamar itu.
“Bangun, Dik! Hei, bangun, Dik!” teriak seorang perempuan berambut cepak bernama Wina yang panik melihatnya pingsan.
Wina mengoleskan minyak angin yang ia bawa dari Indonesia dan masih tersimpan di tasnya. Wina juga memijat-mijat kakinya agar terbangun. Seorang kawan yang lain mengambilkan minum di luar sambil mengendap-endap. Mereka tidak mendapatkan jatah makan dan minum di luar jam kerja, sehingga mereka harus mencuri jika kehausan, kelaparan atau mendadak sakit. Ia menggerakkan jari jemarinya sedikit. Wina menggoyang-goyangkan tubuhnya.
“Bangun! Kamu jangan mati dulu! Bangun!” teriak Wina lagi.
Ia membuka matanya pelan dan memandang delapan orang kawan yang mengerubunginya. Tujuh kawan yang lain masih bekerja. Mereka bekerja shif, meski tidak jelas urutannya. Wina menepuk lengannya yang memar dan ia meringis kesakitan.
“Itu tangannya sakit malah lu tepuk gitu, sih?” kata teman yang lain.
“Eh iya, maaf. Aku senang dia bangun, kukira udah mati,” jawab Wina.”Biar aku obati dulu lukamu, jangan banyak gerak.”
Ia hanya diam dan kembali memejamkan matanya. Rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya yang muda seperti baru saja dilindas benda keras. Wina mengoleskan obat merah dan membalut luka-luka di tubuhnya. Ia memang memasuki neraka sebelum waktunya, tetapi ia juga menemukan surga di dalamnya. Lima belas orang di dalam apartemen ini semuanya baik dan saling menolong. Setiap ada satu orang yang dihajar sampai pingsan, yang lain akan saling membantu dan mengobati.
“Kamu perlu sendiri?” tanya Wina lagi.