Bab 12
Hal pertama yang terlintas dari benaknya adalah melarikan diri. Setelah luka-luka di tubuhnya sembuh dari siksaan demi siksaan ini, ia bisa mengajak 14 orang lainnya kabur, meninggalkan neraka dunia yang sebentar lagi bisa mencabut nyawanya. Mereka pasti tidak menolak ajakannya kabur karena memang hanya itulah jalan keluar yang mereka miliki untuk menyelamatkan diri.
Waktu duduk di kelas satu sekolah menengah atas, ia sering main games di rumah teman sebangkunya yang kaya, games tentang pelarian dari makhluk ganas. Ia ingat dalam hitungan menit berhasil menyelesaikan skor tinggi menghindari makhluk-makhluk yang hendak membunuhnya dalam games, mengalahkan temannya yang kaya. Mungkin, ia bisa mengaplikasikan trik-trik yang ia pakai dalam games itu di kondisi nyata.
Tetapi, sekarang ia terjebak di Myawaddy.
Salah satu daerah konflik yang berbahaya di perbatasan Thailand dan Myanmar. Myawaddy dikuasai oleh pemberontak Myanmar dan sering terjadi kontak senjata di sini. Bahkan di luar gedung tempat ia tinggal banyak tentara bersenjata berjaga-jaga. Ia tiba di daerah ini nyaris tengah malam, sehingga yang terlihat setelah masuk gerbang adalah satu areal luas dengan beberapa gedung apartemen tinggi yang bentuknya sama. Begitu masuk ke dalam apartemen, ia tidak dizinkan keluar lagi. Bahkan dua jam setelah kedatangannya, ia langsung diperintahkan untuk bekerja di depan komputer dan handphone. Pekerjaan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Lokasinya di Thailand. Pekerjaannya mudah, kamu hanya memasukkan data. Gajimu kalau dirupiahkan bisa sekitar 15 juta perbulan dan semua kebutuhan sudah ditanggung perusahaan,” kata seorang kakak kelas sekolahnya yang merantau ke Myanmar setelah lulus melalui telepon.
“Apa saja yang ditanggung perusahaan?” tanyanya.
“Makan, transportasi, asuransi kesehatan dan tempat tinggal. Kamu terima gaji bersih. Pasti lebih baik dari saat kamu bekerja di kapal nelayan China itu,” tambah temannya.
Ia membayangkan dengan uang 15 juta perbulan selama setahun saja, ia bisa mengontrakkan mamanya di rumah yang layak, membuatkan usaha kedai kecil untuk mamanya dan menabung untuk biaya kesehatan jika terjadi apa-apa. Cita-cita mamanya masih sama sejak ia kecil, memiliki kedai sendiri dengan masakan-masakan unik yang resepnya sudah ia siapkan. Bahkan dengan uang sebanyak itu, ia bisa membawa mamanya ke psikiater agar mendapatkan penanganan atas traumanya menghadapi kekejaman suaminya.
“Persyaratannya apa?” tanyanya mulai tertarik.
“Nggak ada banyak persyaratan, pembayaran untuk berangkat juga bisa dicicil. Kamu hanya perlu membayar uang visa pelancong saja yang akan diurus sama agen,” jelas temannya antusias. “Kalau kamu bisa bawa teman, aku akan bayarin uang visamu.”
Ia pernah bekerja di kapal nelayan China, sedikit banyak ia tahu bahwa pergi ke negara-negara Asean tidak membutuhkan visa. Tetapi apa maksudnya dengan visa pelancong yang disebutkan temannya itu?
“Visa kerjanya bagaimana?” tanyanya.
“Visa kerja akan kamu dapatkan saat sampai sini, buat memperkecil biaya,” jawab temannya lagi. “Jangan banyak mikir, yang daftar banyak dan antre. Kamu bisa masuk lebih cepat karena ada aku di sini.”
“Nanti aku kabarin lagi,” jawabnya.
“Baik, jangan lupa bawa temanmu, biar kamu gratis visa.”