Bab 13
Ada satu hari dalam seminggu selama beberapa jam, mereka diperbolehkan menggunakan handphone pribadi untuk menghubungi kerabat di kampung halaman. Semua pekerja senang menunggu hari itu tiba, karena akan mereka gunakan untuk mencari pertolongan keluar dari tempat itu. Menjadi penipu di internet bukanlah cita-cita kebanyakan dari mereka, meski susah mencari pekerjaan di kampung halaman. Apalagi disiksa setiap target penghasilan tidak sesuai, itu sama saja dengan budak. Pihak perusahaan minta tebusan ratusan juta ke keluarga jika mereka ingin pulang dengan selamat. Tetapi, dari mana keluarga mereka mendapatkan uang sebanyak itu? Mereka pergi untuk mendapatkan penghasilan, bukan untuk mencari hutang dan menebus diri mereka sendiri.
Ia membuka handphonenya dengan penuh harap karena mamanya pasti meninggalkan pesan. Ia tahu mamanya tidak punya uang untuk menebusnya, ia juga tidak meminta ditebus. Minggu lalu, perusahaan sudah melakukan pemerasan dengan meminta tebusan pada pekerja yang ingin pulang. Ia hanya ingin mengatakan pada mamanya bahwa ia akan berupaya sendiri keluar dari masalahnya, jadi mamanya tidak perlu khawatir. Seperti ketika bekerja di kapal nelayan China, ia juga mencari jalan sendiri untuk pulang.
“Nak, kamu baik-baik saja ‘kan? Kabari Mama, Mama kangen, Nak.”
Ia tersenyum membaca pesan mamanya yang masuk ke handphone.
“Aku baik Ma, jangan khawatir soal tebusan. Aku akan berupaya sendiri. Mama tidak usah memedulikan telepon mereka,” jawabnya di pesan handphone.
Tetapi, pesan itu tidak terkirim, hanya centang satu. Ia menunggu beberapa saat, mungkin mamanya sedang mematikan handphone, tetapi tidak terkirim juga. Sambil menunggu, ia melihat-lihat berita tentang Bandung di handphonenya. Tiba-tiba, matanya terbelalak ketika membaca headline berita di salah satu website media lokal Bandung.
‘Seorang wanita berinisial B ditemukan telah tewas di rumahnya di areal perkebunan teh Ciwidey, jalan Hegar 1, Bandung. Diduga, B meninggal akibat kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku yang diduga suaminya sendiri sedang dalam pengejaran polisi. Sempat tertangkap namun kembali meloloskan diri.’
Halilintar di siang bolong serasa menyambarnya dengan dahsyat. Ia merasa luka di tubuhnya yang baru mengering mendadak berdarah lagi. Sakitnya lebih parah dari saat pukulan dan tusukan itu terjadi. Ia yakin berita yang sedang dibacanya itu tentang mamanya. Siapa lagi yang tinggal di jalan Hegar 1 kalau bukan mamanya? Di sana hanya ada satu rumah mungil menyerupai gubuk, tidak ada yang lainnya karena jaraknya berjauhan. Perasaan bersalah menghantamnya tiba-tiba, hingga ia susah bernapas. Seharusnya ia tidak meninggalkan mamanya sendirian di rumah, seharusnya ia bekerja di Bandung saja sehingga bisa sambil menjaga mamanya. Seharusnya dan seharusnya, yang membuatnya mendadak sangat marah pada dirinya sendiri. Ia tahu, papanya akan datang saat ia tidak ada di rumah dan menyakiti mamanya. Semua memang salahnya, sekarang ia merasa telah membunuh mamanya. Ya, ia telah membunuh mamanya sendiri.
“Kamu kenapa, Dik? Kamu sakit lagi?” tanya Wina ketika melihatnya meneteskan air mata dan wajahnya yang semakin memucat.
Ia tidak mengatakan apapun, tetapi Wina mengambil handphone di tangannya dan melihat berita yang sedang ia baca. Wina membelalakkan mata karena terkejut membaca berita itu. Remaja tampan yang disayangi Wina ini memang tidak banyak cerita tentang hidupnya, namun, Wina tahu siapa yang ada dalam berita itu. Tanpa berkata apa-apa, Wina memeluknya erat dan membiarkannya menangis.
Ia merasa seperti Wina sekarang, hidupnya tidak punya tujuan. Tidak punya siapapun di rumah. Tidak harus pulang dan tidak tahu hendak melangkah kemana. Semua menjadi kosong dalam sekejap.
“Kamu masih punya aku, Dik. Jadilah adikku,” kata Wina masih memeluknya.
Ia mengusap air matanya yang semakin deras. Beberapa teman menanyakan ke Wina apa yang sedang terjadi, tetapi Wina hanya menggeleng. Wina tidak mau menceritakan kisah-kisah pedih yang hanya menambah luka semua orang. Lagipula, adik baru Wina pasti lebih suka memendam semua cerita ini sendiri ketimbang semua orang dalam ruangan itu tahu kejadian yang menimpa mamanya.
Penjaga mulai berteriak-teriak memanggil para pekerja agar mengembalikan handphonenya. Sebagian mulai mendorong-dorong dengan agresif seolah berhadapan dengan anak kecil yang bermain gadget. Ia mengembalikan handphone itu dan kembali ke meja kerjanya. Wina mengikuti ke meja kerjanya dan menepuk-nepuk bahunya berusaha menenangkannya. Ia kembali teringat wajah Mamanya yang cantik dan matanya yang sayu. Bagaimana bisa seorang suami tega membunuh istrinya sendiri? Ia benar-benar tidak memahami jalan pikiran papanya.
“Setelah uangku terkumpul, aku akan pulang Ma…” katanya ketika ia minta izin delapan bulan yang lalu. “Mama bisa bikin kedai kecil, dan memasak di sana. Resep mama sejak kuliah bisa Mama praktekkan di sana.”
Mamanya tersenyum. “Nak, pikirkan dirimu sendiri, jangan terlalu sibuk memikirkan mamamu ini. Kamu sehat saja, Mama sudah bahagia. Pulanglah dengan sehat dan uang hasil kerjamu bisa kamu tabung untuk masa depanmu.”