Bab 16
Tukar kepala.
Itulah istilah yang digunakan di sini untuk mencari pengganti jika ingin keluar dari perbudakan ini. Kamu harus menyediakan pengganti minimal lima orang jika ingin bebas atau menebus sejumlah uang yang nominalnya bisa ratusan juta. Semua pekerja berangkat untuk memperbaiki ekonomi keluarga sementara di kampung halaman tidak ada pekerjaan yang tersedia. Tetapi, mereka justru dihadapkan pada utang yang menggunung dan nyawa yang sudah terjual.
Ia tahu, kenapa sekarang teman yang membawa ke sini menghilang. Tentu saja, karena ia sudah pulang ke Indonesia setelah menukar kebebasannya dengan lima orang lainnya. Dulu, perusahaan meminta ganti tiga orang jika ingin keluar dari sini dengan bebas, tetapi sekarang persyaratan itu naik menjadi lima orang. Tidak semua teman dari kampung halaman itu orang baik, bahkan sebagian mereka tetap saja ingin menjerumuskan temannya agar dirinya sendiri bebas. Mereka menjual teman-temannya sendiri agar bisa pulang.
Tetapi, ia beruntung karena semua orang Indonesia di apartemen ini baik-baik, tidak ada yang ingin mencelakakan temannya. Mereka berprinsip lebih baik mati ketimbang harus mengorbankan orang lain. Semua ingin berkorban untuk yang lainnya, bukan malah menjerumuskan temannya.
Dan, Wina benar-benar telah mengorbankan dirinya untuk yang lain.
Setelah tiga hari tidak ada kabar, ia berusaha mencari tahu ke ruang penyekapan, tetapi di sana tidak ada siapa-siapa. Hanya Zeya penjaga yang tersisa di dalam ruangan, sehingga ia bebas keluar masuk ruangan lain. Ia juga tidak tahu bagaimana persahabatannya dengan Zeya tiba-tiba terjadi. Tetapi, Zeya seperti selalu ingin melindungi orang-orang Indonesia di ruangan apartemen itu dengan berbagai cara meski tersembunyi. Ia belum tahu motif Zeya sesungguhnya, tetapi ia percaya Zeya memang orang baik yang tidak sanggup melihat kekerasan di depan matanya.
Ia melihat-lihat ruang penyekapan yang terdiri dari beberapa kamar dan Zeya menyarankan agar mengenakan jaket bertudung agar tidak tertangkap cctv saat itu juga. Ia menyetujui usul Zeya dan mencari-cari Wina di ruangan itu. Zeya beberapa hari terakhir dirolling ke ruangan apartemen lain sehingga tidak bisa memantau keberadaan Wina. Sekarang ia ingin mencari tahu kondisi Wina. Ia banyak berhutang budi pada wanita yang ia anggap kakak sendiri itu.
Pintu kamar penyekapan itu terbuka satu persatu atas bantuan Zeya. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya selain kamar kosong yang bau anyir darah. Kemana mereka? Seorang temannya mengatakan mungkin mereka dibawa ke ruang hitam, ruang yang menjadi akhir dari segala akhir hidup sebagai budak di era modern ini. Di ruang hitam itu biasanya mereka dihabisi atau di transfer ke pembeli lain dari Laos. Kalau sudah masuk ke Laos mereka akan berhadapan dengan penjualan organ dan tidak satupun yang selamat. Bagaimana kalau Wina sampai mengalami itu? Ia merasa sangat bersalah. Seharusnya ia bisa menolong Wina dan menggantikan dengan dirinya. Laki-laki macam apa yang tidak bisa menolong wanita yang ia anggap sebagai kakak sendiri?
“Apa kamu tahu ruang hitam di mana?” tanyanya pada teman lain setelah ia tidak menemukan Wina di ruang senyap sore tadi.
Ia ingin mengecek ruang hitam itu jika ada kesempatan nanti.
Temannya itu menggeleng. “Tidak, amit-amit! Jangan sampai kita masuk ke sana.”
“Tapi kalau Kak Wina di sana, kita harus menyelamatkannya.”
“Kamu nggak akan bisa nyelametin Wina, dia pasti udah dibawa keluar. Kesalahannya itu fatal. Kabarnya kalau sudah bikin viral begitu, tidak ada juga pembeli lain yang akan membeli kita, paling bagus hanya akan diambil organnya,” jelas teman yang lain.
“Tapi dia melakukan itu untuk menolong kita…” jawabnya entah pada siapa.
Semua teman yang mendengar soal penjualan organ selalu bergidik ketakutan. Mereka tidak membayangkan hidup akan berakhir di meja jagal lalu organ mereka akan dipakai orang lain dari antah berantah. Tetapi, itu dipikirkan nanti saja, sekarang ia harus menolong Wina sebisa mungkin.
Ia tidak memedulikan hal-hal menakutkan yang dijelaskan temannya, lalu bangkit dari meja kerjanya dan ngeloyor pergi. Zeya baru saja keluar sementara penjaga lain sedang merokok di luar. Ia kembali mengendap menuju ruang penyekapan dan memeriksa kamar-kamar di dekat ruang penyekapan untuk mencari ruang hitam. Sebuah benda jatuh mengagetkannya, tetapi ia terus berjalan memeriksa ruang-ruang itu. Ia merasa angin berdesir melewati telinganya, padahal ia berada di dalam apartemen. Semua jendela dan pintu terkunci sehingga tidak ada angin yang bisa masuk ke dalamnya.
“Di ujung,” sebuah suara wanita yang lembut mengagetkannya.
Ia menoleh dan tidak ada siapa-siapa di sana. Tengkuknya merinding. Suara siapa yang bicara padanya itu? Di ruangan ini tidak ada penjaga wanita. Jikapun ada wanita, hanya Kak Wina dan dua pekerja lainnya orang Indonesia. Mereka sedang bekerja di depan komputer masing-masing sementara Kak Wina menghilang. Penjaga masih di luar belum ada satupun yang kembali. Ia berjalan menuju ujung, dan suara itu kembali terdengar.
“Waktumu tidak banyak,” suara wanita itu membisikinya lagi.
Ia ingin membentak dan bertanya pada suara wanita itu, tetapi ia urungkan. Ia memang tidak punya banyak waktu untuk berjalan ke ujung lorong itu. Sebelum penjaga berdatangan dan ia akan jadi tontonan karena dihajar beramai-ramai. Ia mempercepat jalannya ke ujung lorong sementara teman-temannya di ruangan kerja melirik ke arah lorong dengan ketakutan. Ketika tiba di depan pintu berwarna hitam, ia mencoba membukanya. Terkunci, pintu itu digembok dari luar. Ia mencoba berbisik di pintu.
“Kak Wina, apa kamu di dalam?” bisiknya sambil mengetuk pintu pelan.
“Kak Wina…Kak Wina…” panggilnya lebih keras.