Bab 21
Mereka tiba di ujung jalan setapak.
Jalan besar yang dikatakan Zeya tidak terlihat. Mereka justru bertemu dengan pagoda besar tempat orang-orang berdoa. Ia menghentikan langkah teman-temannya, mengatur napas lalu memeriksa sekeliling. Jam tangannya menunjukkan pukul 5 sore, sebentar lagi malam akan datang.
“Tidak ada jalan lain selain masuk ke pagoda ini,” katanya pada teman-temannya.
“Mungkin di pintu keluar pagoda itu jalan besar,” jawab yang lain.
Ia mengangguk lalu memerintahkan temannya untuk memasuki halaman pagoda sambil tetap waspada. Mereka berpapasang orang yang sedang berdoa, dan mengikuti beberapa orang lokal untuk mencari jalan keluar. Berputar-putar dalam pagoda mereka sempat kembali ke pintu masuk dari jalan samping apartemen tadi. Jika tetap memutar di sini, mereka akan segera tertangkap. Ia mengumpat sejenak karena menganggap Zeya telah menipunya. Tetapi, untuk apa Zeya menipunya?
“Itu ada jalan keluar,” kata temannya antusias.
Benar saja, di samping kanan ada pagar yang terbuka sedikit dan bisa digunakan untuk keluar dari area pagoda. Tetapi tetap saja, jalan itu tidak menuju jalan besar seperti yang dikatakan Zeya. Justru di depan mereka terbentang ladang warga yang tidak ada tanamannya. Untuk menyeberangi ladang itu mereka tidak tahu akan tiba di daerah seperti apa. Ia meminta teman-temannya berpikir dulu sebelum melanjutkan langkah.
“Apa ujung ladang sana sungai?” tanya temannya.
“Entahlah, yang jelas jika kita melewati ladang ini, akan terlihat dari apartemen. Mereka bisa membidik kita dari sana. Lihat, apartemennya di sana tampak jelas,” katanya bingung.