BAGIAN 3
3663 km
Bab 22
Aku memutuskan kembali ke rumah setelah merasa lebih tenang. Kembali ke rumah ini membuatku merasakan kehilangan yang parah, namun, aku harus mengurus rumah ini dengan baik. Hanya rumah ini yang aku miliki sebagai kenangan dari keluargaku. Kamar Bulan aku bersihkan setelah belasan tahun tidak pernah kumasuki selain hanya untuk mengambil sesuatu yang kuperlukan. Aku menempati kamarku sendiri yang sudah kuubah tata letak dan desainnya. Ruang kreatif dan ruang memasak Bulan aku rapikan. Kadang-kadang aku memasak di ruang memasak Bulan sambil membayangkan masakan Bulan yang sangat enak itu. Entah kenapa, baru sekarang aku merindukan masakan Bulan.
Ya, semua memang sudah terlambat. Setelah orang-orang itu pergi aku kehilangan waktu untuk mendekati mereka. Seandainya mereka masih hidup, mungkin aku bisa melakukan sesuatu untuk menyenangkan mereka ketimbang sibuk di luaran mencari berita. Kini, setiap mengingat mereka air mataku menetes. Aku terlalu egois untuk berusaha mendekati mereka dan menerima kasih sayang mereka. Aku yang tomboy dan tidak cengeng sekarang berubah 180 derajat menjadi perempuan yang gampang menangis.
“Semua sudah tertulis dan berjalan pada takdirnya masing-masing,” begitu yang dikatakan Ayah setiap aku menyesali sesuatu yang tidak berhasil sesuai keinginanku. “Tidak ada yang perlu disesali karena begitulah adanya. Kalau kamu melakukan kesalahan boleh kamu sesali, jika tidak jangan menyesal karena hal-hal yang meleset dari kita memang bukan untuk kita.”
Aku memang tidak melakukan kesalahan dan sudah berusaha yang terbaik untuk Ayah, Ibu dan Bulan. Tetapi, setelah mereka pergi, aku menyesali waktuku menjauh dari mereka semua dan sibuk dengan urusanku sendiri. Aku menyadari sepenuhnya kini, setelah keluargaku pergi mungkin kami tidak akan bisa bertemu lagi dalam situasi yang sama.
Tetapi, ada laki-laki yang mungkin tidak pernah menyesal kehilangan istri dan anaknya. Ia adalah Januar Riza. Aku tidak menyangka kehidupan cinta Bulan begitu rumit. Sejak memasuki masa remaja hampir semua mata cowok yang melihatnya pasti terpesona. Tentu saja, Bulan sangat cantik, lembut, feminine dan pintar. Tidak seperti aku yang selebor, berantakan dan urakan. Aku ingat, setiap malam minggu selalu ada cowok teman sekolah kami yang datang ke rumah meski bukan pacar Bulan.
Mereka membawa bunga, coklat dan boneka. Sedangkan aku, boro-boro diapelin, malam mingguku selalu hanya masuk ruang kreatif mengerjakan tugas-tugas liputan sekolah mengenakan celana pendek dan kaos oblong. Hanya Gara yang datang menemaniku mengerjakan semua itu, tidak ada bunga, coklat atau boneka. Lagipula barang-barang seperti itu bagiku sangat aneh dan palsu. Aku suka makan coklat tetapi tidak menerima coklat pemberian atas nama cinta, karena menurutku sangat aneh.
Lalu siapa Januar Riza yang menjadi suami Bulan dan sekarang masih buron itu?
“Januar Riza usianya empat puluh tahun kini,” kata Gara kemarin saat menemukan data-data lain untuk mengetahui keluarga kecil Bulan.
“Berarti 4 tahun di atas kami. Dia orang mana?” tanyaku.
“Orang Jakarta, satu kampus dengan kita,” jawab Gara.
“Hah!? Yang mana ya?” tanyaku lagi keheranan.
Aku seperti tidak pernah mengenal nama itu, tentu saja mahasiswa di kampus kami sangat banyak dengan berbagai tingkatan pula. Tetapi, seharusnya aku tahu jika seseorang sedang dekat dengan Bulan, mungkin dia akan menjemput ke rumah atau bertemu di kampus. Aku memang tidak selalu bersama Bulan, tetapi sungguh tidak masuk akal kalau aku sama sekali tidak mengendus bahwa Bulan memiliki pacar kakak tingkat. Kami mengalami percepatan sekolah sehingga usia 16 tahun sudah duduk di bangku kuliah tingkat pertama.
“Sayang sekali kita tidak menemukan diary Bulan, dia sebenarnya suka menulis diary seperti generasi ibuku,” kataku.
Gara mengangguk-angguk. “Ya, semua sudah aku cek dan tidak ada diary. Kabar terakhir, polisi tidak bisa menghubungi nomor Angkasa. Mungkin nomor itu sudah diblokir oleh perusahaan tempatnya bekerja.”
“Kalau begitu kita akan mulai dari mana?”