Bab 23
Aku berjalan mengikuti polisi yang mengantarkan kami ke sel Januar seperti memasuki mimpi burukku sendiri. Mimpi paling mengerikan yang tak pernah terbayangkan. Aku terbangun berkali-kali untuk menyadari bahwa ini hanyalah mimpi, tetapi sialnya semua mimpi buruk itu justru menjadi kenyataan. Gara memegang jemari tanganku erat, seperti pegangan tangan seorang kekasih. Aku tidak menolak pegangan itu karena aku memang memerlukannya. Hingga kami tiba di depan sel.
Seorang lelaki tinggi kurus dengan wajah, rambut dan pakaian yang berantakan duduk di pojok sel. Aku jadi teringat kata-kata tetangga Bulan yang mengatakan bahwa suami Bulan seperti gelandangan. Ya, dia memang seperti gelandangan. Polisi mengatakan bahwa kami ingin menemuinya. Lelaki itu bangkit dari duduknya dan menghampiri kami. Tiba-tiba ia menyeringai melihat wajahku. Gara menarikku mundur dari depan sel agar kami tidak terlalu dekat.
“Melihatmu, aku jadi teringat istriku,” katanya. “Jadi kamu Bintang yang membuat Bulan selalu merasa minder saat di dekatmu karena kamu pemberani?”
Aku diam tidak menjawab, semua kata-kata makian yang kusiapkan semalaman lenyap di depan wajah bengis Januar. Aku merasa, makianku terlalu bagus untuk orang seperti dia.
“Kamu dan Bulan benar-benar sama persis wajahnya, bedanya kamu lebih sangar,” katanya lagi sambil tertawa.
Gara memegang tanganku lebih erat, ia tahu aku bisa mencakar muka lelaki di hadapanku ini jika tanganku dibiarkan bebas.
“Kenapa kamu tidak mencari Bulan? Apa kamu senang Bulan pergi jadi tidak ada saingan karena sebenarnya ibumu lebih menyayangi Bulan ketimbang dirimu?” kata Januar lagi. “Duapuluh tahun dan kamu baru mencarinya, luar biasa…”
Aku menatap mata Januar tajam. Dia memang monster. Bahkan setelah membunuh istrinya sendiri, ia masih menyalahkan saudara kembarnya untuk kematian itu. Lalu, untuk apa aku mengurusi monster seperti dia?
“Jadi kamu yang membunuh Bulan?” tanyaku seperti pertanyaan bodoh yang entah dari mana munculnya.
Tetapi, pertanyaan itu sepertinya justru mengusik Januar. Ia membalas tatapanku dengan mata yang memelas, seolah ia ingin dikasihani. Orang ini sepertinya memang psiko!
“Aku tidak berniat membunuhnya, aku hanya ingin dia memberiku uang. Kematiannya tidak kusengaja. Aku mencintainya,” katanya.
Aku menghela napas, berusaha menahan diri. Gara masih memegangi satu jemari tanganku hingga rasanya berkeringat. Setiap aku hendak melepaskan pegangan itu, Gara memegangnya lebih erat lagi.
“Anakmu di mana?” tanyaku lagi. Pertanyaan bodoh kedua yang aku juga tidak tahu mengapa aku menanyakan itu padahal aku tahu jawabannya.
“Ia pergi bekerja, katanya di Kamboja. Aku juga mencintainya, tetapi sepertinya dia tidak pernah mencintaku,” jawabnya.